Nasional

Gus Yahya Jelaskan NU sebagai Pencetus Keberlanjutan Pesantren di Indonesia

Selasa, 8 Oktober 2024 | 13:00 WIB

Gus Yahya Jelaskan NU sebagai Pencetus Keberlanjutan Pesantren di Indonesia

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya saat memberikan pidato kunci pada Simposium Pesantren 2024, Selasa (8/10/2024) di UGM. (Foto: NU Online/Indi)

Sleman, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, menegaskan pentingnya keberlanjutan dalam pesantren dan peran Nahdlatul Ulama dalam memperkenalkan konsep ini. Menurutnya, gagasan tentang keberlanjutan pesantren muncul seiring dengan berdirinya NU, yang membawa perubahan besar dalam cara para ulama memandang lembaga pesantren sebagai institusi yang harus bertahan dan terus berkembang.


“Saya menduga aspirasi tentang sustainability–pesantren–muncul gara-gara didirikannya Nahdlatul Ulama,” ujar Gus Yahya saat menyampaikan pidato kunci pada Simposium Pesantren 2024 Strategi Penguatan Pesantren Sebagai Pilar Masa Depan di Auditorium Mandiri Lantai 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Universitas Gadjah Mada), Selasa (8/10/2024).


“Karena persis dengan jamiyah itulah gagasan tentang sustainability itu diperkenalkan bahwa para ulama itu semestinya memiliki cita-cita jauh ke depan untuk itu diperlukan satu model dan kendaraan perjuangan yang sustainable maka didirikanlah organisasi namanya Nahdlatul Ulama,” lanjutnya.


Gus Yahya menjelaskan bahwa pesantren awalnya merupakan bagian dari konstruksi sosial budaya masyarakat komunal Nusantara. Pesantren mulai muncul sebagai tempat yang menyerap para pendakwah Islam dan menjadi pusat kepemimpinan komunitas lokal. Dari sana, pesantren berkembang menjadi lingkaran studi akademik tentang agama, dengan fokus pada aktivisme spiritualitas yang sangat kuat.


Generasi kiai pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dikenal tidak hanya karena kapasitas intelektualnya, tetapi juga kemampuan spiritualnya yang legendaris. “Banyak kita dengan riwayat legenda dengan kesaktian yang luar biasa yang sebetulnya ini masih turun-temurun. Saya melihat fenomena ini sampai sekurang-kurangnya ke generasi ayah saya,” ucapnya.


Namun, Gus Yahya juga menyoroti bahwa pada masa lalu, meskipun pesantren memiliki peran penting di masyarakat, aspirasi untuk memapankan lembaga pesantren sebagai institusi yang berkelanjutan masih sangat minim. Pesantren sering kali timbul tenggelam, tergantung. Tidak adanya dorongan kuat untuk melanggengkan lembaga tersebut, terangnya, mencerminkan keikhlasan dan orientasi pada kiai yang mengajar demi ridha Allah.


“Yang perlu kita tandai di sini, pada masa itu tidak cukup berkembang aspirasi untuk memapankan lembaga. Jadi, pesantren pada masa itu timbul tenggelam runtuh hilang tidak beraturan diserahkan pada kemampuan masing-masing,” jelasnya.


Gagasan keberlanjutan baru mulai menjadi perhatian serius setelah berdirinya Nahdlatul Ulama. Gus Yahya menjelaskan bahwa dengan hadirnya NU, para kiai mulai menyeriusi tentang masa depan pesantren. Dengan berkembangnya organisasi NU, kiai mulai serius mendidik anak-anak mereka agar dapat melanjutkan kepemimpinan. Ini dimulai setelah masa kemerdekaan, ketika tantangan yang dihadapi oleh pesantren dan umat Islam semakin besar.


“Sekitar sesudah kemerdekaan ini dimulai. Ketika zaman berkembang lalu ada tantangan yang lebih besar, muncul juga kepentingan untuk memberikan nilai lebih bagi generasi penerusnya,” paparnya.


Selain itu, Gus Yahya menekankan bahwa pesantren memiliki peran krusial dalam mengarahkan komunitas di sekitarnya. Meskipun intensitas hubungan antara pesantren dan komunitas berbeda dengan pesantren di masa lalu, kualitas dan karakteristik pesantren sebagai pusat pendidikan agama dan spiritualitas masih sangat relevan hingga saat ini.


“Ini semua melahirkan bersama-sama dengan berkembangnya sebagai organisasi, berkembangnya signifikansi Nahdlatul Ulama di tengah masyarakat, ini kemudian menumbuhkan imajinasi tentang pentingnya pesantren,” pungkasnya.