Nasional

Halaqah Fiqih Peradaban Bahas Kategori Kafir dalam Negara Bangsa

Senin, 12 September 2022 | 21:00 WIB

Halaqah Fiqih Peradaban Bahas Kategori Kafir dalam Negara Bangsa

Katib Syuriyah PBNU KH Faiz Syukron Ma'mun (tengah memegang mikrofon) saat membahas kategori kafir dalam negara bangsa pada Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Ahad (11/9/2022). (Foto: Darus-Sunnah/Siroj).

Jakarta, NU Online

Di dalam literatur fiqih klasik, terdapat empat kategori kafir, yakni harbi, dzimmi, mu’ahad, dan musta’man. Sementara dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Banjar pada 2019 diputuskan bahwa dalam konteks negara bangsa tidak ada lagi penyebutan kafir, karena semua orang punya hak dan kewajiban setara. Mereka disebut muwathinun atau warga negara.  


Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muhammad Faiz Syukron Makmun (Gus Faiz) menjelaskan, keputusan Munas NU tentang kedudukan Non-Muslim dalam konteks negara bangsa itu bukan sesuatu yang baru. 


Bahkan, jelas Gus Faiz, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin Yusuf Qardhawi pada 2000 telah menyatakan bahwa dalam negara bangsa dan pergaulan internasional, tidak ada yang bisa disebut sebagai kafir, melainkan penyebutan terhadap penganut agama di luar Islam itu sebagai ghairu al-muslimin atau Non-Muslim. 


Pembahasan tersebut dikemukakan Gus Faiz dalam Halaqah Fiqih Peradaban bertema ‘Fiqih Siyasah antara Perang dan Damai’ di Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada Ahad (11/9/2022) kemarin. 


Gus Faiz juga menjelaskan tentang status kafir dalam konteks negara bangsa. Ia mengutip pernyataan seorang wartawan senior asal Mesir Fahmi Huwaidi bahwa muwathinun laa dzimmiyun atau warga negara bukan termasuk kategori kafir dzimmi


Menurut Gus Faiz, pernyataan Fahmi Huwaidi itu mengagetkan banyak pihak karena dianggap berbeda. Padahal istilah ahlu dzimmah itu berasal dari fiqih, bukan syariat. Nabi pun tidak pernah menyatakan apa pun tentang kedudukan kafir. Terkait itu, Gus Faiz kemudian menjelaskan Surat At-Taubah ayat 6. 


“Ketika Al-Qur’an bilang begitu, maka secara praktis di masa lalu (dalam literatur fiqih klasik) orang ini (sebagaimana dalam At-Taubah ayat 6) disebut ahlu dzimmah,” ungkap Pengasuh Pesantren Daarul Rahman Jakarta itu. 


Dalam konteks negara bangsa seperti sekarang, Gus Faiz menyamakan makna ahlu dzimmah itu sebagai warga negara asing yang telah mengajukan atau membuat visa untuk masuk ke sebuah negara. Kalau telah memiliki visa, maka orang tersebut telah dijamin keamanan dan keselamatannya. 


“Kalau yang tidak dapat visa, dia tidak dijamin keamanannya. Setiap ketemu polisi takut, tidak bisa tenang. Kita keluyuran di negara mana pun, selama pegang visa, tenang-tenang saja, karena sudah ada aqdul amani (akad mendapatkan keamanan),” jelas Gus Faiz. 


Terkait kategori kafir itu, Pakar Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta Nyai Hj Nur Rofiah menguatkan pemaknaan Gus Faiz dengan lebih dalam. Keempat kategori kafir yang terdapat di dalam fiqih klasik dimaknai sebagai warga negara asing yang masuk ke dalam Indonesia. 


“Kafir dalam konteks negara itu adalah orang atau negara asing. Bukan negara atau (secara khusus) orang Non-Muslim,” jelas Nur Rofiah.


Kafir dzimmi, menurut Nur Rofiah, adalah orang asing yang sudah tinggal atau menetap di Indonesia dan tunduk pada aturan perundang-undangan yang berlaku. “Tapi kita pun menyebutnya bukan kafir melainkan muwathin atau warga negara,” jelasnya. 


Lalu makna kafir musta’man di era sekarang adalah warga negara asing yang diberi jaminan keamanan. Misalnya, karena memiliki visa sebagai jaminan keamanan bagi orang asing untuk tinggal di Indonesia.  


“Maka dia tidak ada alasan untuk diserang, meskipun bukan muwathin, karena mereka sudah diberikan jaminan keamanan oleh negara,” jelas Dosen Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta itu. 


Kemudian kafir mu’ahad yang menurut Nur Rofiah adalah warga negara asing, berasal dari negara lain dan memiliki perjanjian bilateral dengan Indonesia. Warga negara asing seperti ini juga tidak perlu dan tidak boleh diperlakukan sebagaimana kafir yang ada di masa klasik. 


Sementara kafir harbi, menurut Nur Rofiah merupakan warga negara asing yang membahayakan Indonesia sehingga perlu diperangi. Meski begitu, keputusan peran harus berada di tangan pemerintah atau negara. 


“Keputusan perang tentu saja diberikan kepada pemerintah sebagai waliyul amri, sehingga ormas tidak bisa memutuskan untuk memerangi seseorang atau warga negara lain yang dianggap kafir harbi,” ungkap Doktor Tafsir Al-Qur’an jebolan Universitas Ankara, Turkiye itu. 


Pembahasan mengenai kategori kafir ini juga disampaikan oleh Ustadz Alvian Iqbal Zahasfan, murid almarhum KH Ali Mustafa Yaqub di Pesantren Darus-Sunnah Jakarta. Ustadz Alvian memaparkan kategori kafir yang pernah diurai oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub.   


Menurut Kiai Ali, kata Ustadz Alvian, kafir terbagi atau terkategorisasi menjadi tiga macam. Pertama, kafir harbi yakni orang yang boleh diperangi dengan alasan karena mereka terlebih dulu mengajak perang. 


Kedua, kafir musta’man yaitu warga negara asing yang tinggal sementara di Indonesia dengan jaminan suaka berbentuk visa. Ketiga, kafir dzimmi atau mu’ahad. Mereka yang tinggal di Indonesia dan memiliki nomor induk kependudukan (NIK) tetapi berbeda agama, alias non-Muslim. 


“Dua-duanya (dzimmi/mu’ahad dan musta’man) tidak boleh diperangi, kecuali harbi,” ungkap Ustadz Alvian, menjelaskan uraian tentang kafir menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub. 


Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa Kiai Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa peperangan yang terjadi di dunia, sejak dulu hingga saat ini, tidak ada satu pun yang didasari atas dasar agama. Namun, pasti ada sebab-sebab lain seperti masalah sosial. Kalau di era sekarang, peperangan atau pertikaian terjadi karena perbedaan politik. 


“Perang yang terjadi di dunia ini bukan karena agama, tidak ada perang suci itu. Yang ada perang politik, perang kekuasaan, ekonomi, dan pengaruh. Tetapi yang paling membangkitkan semangat itu kalau agama dibawa-bawa atau namanya politik identitas,” pungkas peraih gelar doktor dari Maroko itu.


Sebagai informasi, Halaqah Fiqih Peradaban di Pesantren Darus-Sunnah Jakarta ini terbagi menjadi dua sesi. Pada sesi pertama, ketiga narasumber memaparkan materi seputar tema ‘Fiqih Siyasah antara Perang dan Damai’. 


Lalu pada sesi kedua, seluruh peserta diminta aktif untuk mendiskusikan berbagai pandangan narasumber itu sehingga menjadi rumusan penting dalam menyusun fiqih peradaban yang menjadi agenda besar PBNU menjelang Harlah 1 Abad NU. 


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF