Nasional

Imparsial: Militerisasi Ruang Siber Ancam Demokrasi dan Hak Asasi Warga

NU Online  ·  Selasa, 21 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Imparsial: Militerisasi Ruang Siber Ancam Demokrasi dan Hak Asasi Warga

Koordinator Peneliti Imparsial, Annisa Yudha dalam sebuah diskusi di Tebet, Jakarta, Senin (20/10/2025) (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

 

Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha mengingatkan bahaya militerisasi ruang siber di Indonesia yang kian meluas seiring munculnya kebijakan dan rancangan regulasi baru di bidang pertahanan digital.

 

Menurutnya, keterlibatan militer dalam penegakan hukum siber berpotensi menggerus demokrasi dan melemahkan supremasi sipil.

 

“Militerisasi ruang siber bisa menjadi alat penindasan baru bagi masyarakat sipil. Negara seharusnya menjamin kebebasan berekspresi dan privasi warga, bukan malah memperluas kontrol lewat aparat militer,” ujarnya dalam diskusi publik bertema Menyoal Peran TNI dalam Keamanan Siber yang digelar Imparsial di Tebet, Jakarta, Senin (20/10/2025).

 

Ia menilai, keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam isu keamanan digital menyalahi semangat reformasi militer pascareformasi dan bertentangan dengan konstitusi. 

 

“Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa TNI bertugas menjaga kedaulatan negara, bukan menegakkan hukum. Jika perannya diperluas ke ranah siber, maka ini melanggar amanat konstitusi,” tegasnya.

 

Annisa juga menyoroti meningkatnya potensi pelanggaran hak asasi manusia akibat perluasan kewenangan militer di ruang digital. Pengawasan data yang masif tanpa batasan teknis dan prosedural, kata dia, berpotensi mengancam privasi warga negara.

 

“Bayangkan, komunikasi pribadi kita bisa diawasi tanpa izin, hanya atas nama keamanan nasional. Ini bentuk pelanggaran serius terhadap hak digital sebagai bagian dari hak asasi manusia,” ujarnya.

 

Selain itu, militerisasi ruang siber juga dinilai mengancam kebebasan berekspresi masyarakat. Menurut Annisa, tanpa batasan yang tegas, ekspresi publik di media sosial bisa dengan mudah dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara.

 

“Ungkapan di dunia digital bisa dikriminalisasi, bahkan hanya karena bercanda atau mengkritik pemerintah. Ini membuka ruang bagi pembungkaman dan self-censorship di kalangan masyarakat,” katanya.

 

Annisa menegaskan, kebijakan siber yang sehat seharusnya menempatkan manusia sebagai pusatnya (human-centric), bukan semata-mata untuk memperkuat negara.

 

“Regulasi di bidang siber harus menjamin perlindungan privasi, kebebasan berekspresi, dan supremasi sipil. Jika militer dibiarkan terlibat tanpa pengawasan, maka demokrasi kita akan mundur jauh,” tutupnya.

 

Dalam kesempatan yang sama, Perwakilan Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, menilai bahwa arah kebijakan digital Indonesia saat ini belum berpihak pada prinsip-prinsip hak asasi manusia. 

 

Ia menyoroti lemahnya perlindungan digital rights warga dan ketidakharmonisan antarregulasi yang justru menimbulkan tumpang tindih hukum.

 

“Kalau kita lihat tren global, indeks hak digital Indonesia sangat rendah. Menurut World Justice Project, skor kita hanya 0,9. Artinya, kita punya problem serius dalam perlindungan hak digital warga,” jelas Erwin.

 

Ia mengingatkan bahwa hak digital merupakan bagian dari hak asasi manusia yang semestinya dijamin negara. Namun, dalam praktiknya, kebijakan yang ada seringkali lebih menekankan pada kontrol dan keamanan ketimbang perlindungan privasi dan kebebasan berekspresi.

 

“Problemnya bukan pada lemahnya penegakan hukum, tapi pada arah kebijakan yang belum berpihak pada warga. Banyak istilah dalam regulasi baru, termasuk RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, yang tidak jelas definisinya dan tumpang tindih dengan undang-undang lain seperti UU ITE dan UU Pelindungan Data Pribadi,” ungkapnya.

 

Menurut Erwin, ketidakjelasan itu berpotensi menimbulkan tabrakan hukum antarinstansi. “Alih-alih menjadi solusi, regulasi yang tidak sinkron bisa menjadi masalah baru. Ini akan mempersulit masyarakat untuk menuntut haknya jika terjadi pelanggaran digital,” ucapnya.

 

Ia juga menyoroti lambannya pembentukan kelembagaan perlindungan data pribadi sebagaimana diamanatkan UU PDP. Padahal, lembaga tersebut penting untuk menjembatani kepentingan keamanan nasional dan perlindungan hak warga di ranah digital.

 

“Kalau mau bicara keamanan digital, maka hak digital harus dijamin terlebih dahulu. Tanpa lembaga pelindung yang independen, kebijakan keamanan justru bisa berubah menjadi alat kontrol,” tegasnya.

 

Erwin menutup dengan catatan reflektif bahwa pembangunan hukum digital di Indonesia seharusnya dimulai dari penguatan prinsip negara hukum, bukan dari kepentingan politik sesaat.

 

“Kalau kita tidak tahu posisi sebuah kebijakan dalam sistem hukum nasional, itu tanda bahwa arah digital kita belum matang. Jangan sampai kita membuat undang-undang yang bahkan tidak tahu mau dibawa ke mana,” ujarnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang