Nasional

INDEF Sebut Klaim Keberhasilan Sektor Pangan 2025 Lebih karena Faktor Iklim, Bukan Kebijakan

NU Online  ·  Rabu, 12 November 2025 | 16:00 WIB

INDEF Sebut Klaim Keberhasilan Sektor Pangan 2025 Lebih karena Faktor Iklim, Bukan Kebijakan

Ilustrasi: petani sedang memanen padi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, menilai fenomena kemarau basah pada 2025 kemungkinan besar menjadi faktor utama yang memperpanjang musim tanam dan panen.


“Dengan demikian, kinerja pada 2025 lebih tepat dibaca sebagai anomaly favourable condition, bukan sebagai konfirmasi perubahan struktural pada fungsi produksi padi nasional,” tulis Abra dalam laporan INDEF yang berjudul Satu Tahun Kabinet Merah Putih: Menguji Janji Swasembada Pangan dan Energi, dikutip NU Online pada Rabu (12/11/2025).


Abra menambahkan, klaim keberhasilan sektor pangan tahun ini sebaiknya dibatasi, karena capaian tersebut bersifat sementara dan bergantung pada kondisi iklim.


“Tanpa peningkatan yield-enhancing drivers seperti benih unggul, agronomi berbasis data, manajemen air, dan perbaikan pascapanen, performa tahun ini berpotensi tidak berkelanjutan ketika kondisi iklim kembali normal atau mengarah ke tahun kering,” tegasnya.


Abra menjelaskan bahwa transformasi pangan nasional masih menghadapi tantangan struktural meskipun terdapat capaian positif secara jangka pendek.


“Transformasi pangan masih menghadapi tantangan struktural meskipun terdapat capaian kuantitatif jangka pendek. Produksi padi 2025 mengalami lonjakan sementara karena anomali iklim, namun belum dibarengi peningkatan produktivitas yang berarti,” jelasnya.


Ia menegaskan, kenaikan produksi padi tidak bisa dijadikan ukuran langsung bahwa ketahanan pangan nasional menguat.


“Ketergantungan impor pada komoditas selain beras, terutama kedelai dan gula, masih tinggi dan persisten. Maka, perbaikan pada padi tahun ini perlu ditempatkan dalam kerangka pemahaman bahwa pangan Indonesia bersifat multi-komoditas, dan kedaulatan tidak dapat diturunkan dari satu komoditas tunggal saja,” ujar Abra.


Lebih lanjut, Ia menuturkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor komoditas strategis seperti kedelai dan gula masih tinggi. Produktivitas dan luas panen kedua komoditas tersebut belum menunjukkan perbaikan berarti.


Di sisi lain, tambahnya, struktur kepemilikan lahan pertanian juga semakin timpang, dengan sekitar 69,9 persen petani tergolong petani gurem pada 2023.


Abra juga menyoroti bahwa lebih dari 60 persen praktik pertanian di Indonesia belum memenuhi standar keberlanjutan, terutama dari aspek produktivitas, ketahanan usaha tani, dan efisiensi penggunaan input seperti air dan pupuk.


Data awal tahun 2025, lanjutnya, memang memperlihatkan peningkatan volume produksi padi dibandingkan 2024. Namun peningkatan itu disebabkan oleh perluasan lahan panen, bukan karena kenaikan efisiensi atau produktivitas.


“Rasio produksi terhadap luas panen sebagai proximate indicator produktivitas masih berada pada kisaran ±5,2 ton per hektare, sehingga secara teknis belum terdapat indikasi kenaikan efisiensi faktor produksi yang signifikan,” jelasnya.


Menurut Abra, pemerintah perlu lebih fokus pada pembangunan sistem pangan yang berkelanjutan dan inklusif, bukan hanya mengejar capaian produksi jangka pendek.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang