Nasional

Ini Sejarah Penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional

Senin, 2 Oktober 2023 | 14:30 WIB

Ini Sejarah Penetapan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional

Ilustrasi batik. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Hari Batik Nasional diperingati pada tanggal 2 Oktober setiap tahunnya. Bertepatan dengan momentum ini, berbagai instansi baik di pemerintahan atau swasta, mengimbau kepada seluruh pegawainya untuk mengenakan batik. Penetapan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional tentu tak dapat dipisahkan dari peristiwa bersejarah di baliknya.


Bermula pada 4 September 2008, batik didaftarkan sebagai Intangible Cultural Heritage oleh Pemerintah Indonesia ke Kantor United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) di Jakarta. Pengajuan tersebut baru diterima secara resmi oleh UNESCO setelah memakan waktu selama kurang lebih empat bulan, yakni pada 9 Januari 2009.


Setelah melalui proses panjang hingga kurun waktu sembilan bulan sejak pengajuan diterima, pada 2 Oktober 2009 akhirnya batik secara resmi terdaftar sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity atau yang lebih dikenal sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi. Penetapan batik sebagai warisan budaya nonbendawi oleh UNESCO ini dilaksanakan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.


Mengingat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Hal tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2009 yang ditandatangani pada tanggal 17 November 2009.


Dilansir dari Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Kemendikbud, batik disebut sebagai salah satu kebudayaan "adiluhung" keluarga raja-raja Nusantara. Pasalnya, batik pada mulanya dikerjakan hanya terbatas dalam lingkungan keraton dan hasilnya semata-mata untuk pakaian raja dan keluarga, serta para pengikutnya. Hal ini terbukti dengan tulisan yang dibuat oieh Rijclof van Goens, salah seorang yang pernah menjadi Gubernur Jenderal di Jawa. Menurutnya, di lingkungan Keraton Mataram diketahui terdapat empat ribu wanita yang melakukan pekerjaan dapur, memintal, menenum, menyulam, menjahit, dan melukis, sebagaimana termaktub dalam laporannya bahwa pada tahun 1656. Melukis yang dimaksud dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah membatik.


Namun, pada saat itu istilah batik membatik belum dikenal. Istilah ini ada kemungkinan muncul dari Chastelein, salah seorang anggota Read van Indic (Dewan India). Ia adalah orang pertama yang menyebut "batex" (=batik) dalam Iaporannya tentang daerah-daerah jajahan pada saat akhir karirnya di Hindia (Indonesia) pada tahun 1705.


Pola-pola batik ini tidak sekadar dibuat begitu saja. Para orang keraton dalam merekacipta batik ini diikhtiari dengan beragam kegiatan ritual, mulai dari puasa, mengurangi tidur, hingga semedi. Pola-pola batik itu juga menjadi wujud ekspresi penuangan harapan-harapan dan pesan dari orang keraton melalui berbagai ragam hias yang penuh makna, disusun sedemikian menjadi pola-pola batik yang indah. 


Dalam perkembangannya saat ini, batik sudah tidak lagi menjadi pakaian kehormatan yang dikenakan oleh raja saja, tetapi rakyat secara umum juga sudah bebas untuk mengenakannya dalam berbagai kegiatan, situasi, kondisi, dan keadaan. Bahkan, banyak desainer yang membuat batik dalam berbagai macam bentuk. Batik diolah dengan beraneka rupa mengikuti kreativitas pengrajinnya, mulai dari baju pesta, baju tidur, celana, rok, sarung, hingga tas dan sandal.


Kreatifitas terhadap batik yang dilakukan oleh para pengrajin dari kalangan masyarakat Indonesia tentu memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan kerajinan dan batik itu sendiri. Hal tersebut juga memperkuat batik sebagai identitas kebudayaan Indonesia yang layak menjadi sebuah warisan budaya tak benda yang ditetapkan Unesco.