Nasional MODERASI BERAGAMA

Jakatarub, Wadah Aktivis Muda Penguat Harmonisasi Umat Beragama di Bandung

Rabu, 17 November 2021 | 00:45 WIB

Jakatarub, Wadah Aktivis Muda Penguat Harmonisasi Umat Beragama di Bandung

Youth Interfaith Camp yang digelar Komunitas Jakatarub Bandung. (Foto: dok. istimewa)

Kota Bandung, Jawa Barat memiliki komposisi penduduk yang beragam. Ciri heterogenitas sosial Bandung tampak jelas, seraya ia menonjolkan sisi availabilitasnya sebagai kota pendidikan sekaligus destinasi wisata.


Sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat, kehadiran para pendatang tak dapat dielakkan. Tidak sedikit dari mereka kemudian bermukim dalam waktu yang lama bahkan selamanya. Para pendatang yang mengisi setiap sudut Bandung berasal dari berbagai suku, ras, dan agama. Hal inilah yang kemudian melahirkan potensi unik dari Kota Bandung untuk kemudian memiliki daya tarik tersendiri.


Kendati demikian, keberagaman tersebut memiliki tiada arti tanpa budaya toleransi. Keberagaman identitas selalu dapat memantik konflik selama dimaknai sebagai ajang rivalitas tak sehat. Merespons kemajemukan Kota Bandung yang tak terbendung, sekelompok aktivis muda datang dengan gagasan hangat.

 

Gagasan yang terbentuk oleh aktivis muda tersebut kini menjelma sebuah komunitas Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub). Jakatarub berhasil merengkuh minat masyarakat Bumi Pasundan untuk dapat lebih memaknai keberagaman sebagai entitas dari kemanusiaan.


Saat dihubungi NU Online, Senin (15/11/2021), Presidium Jakatarub, Wawan Gunawan mengungkapkan bahwa sejak awal berdiri, Jakatarub terus mengampanyekan toleransi sebagai prinsip hidup rukun.

 

Berdiri sejak tahun 2000, Jakatarub merespons kondisi sosial dan politik Indonesia pascareformasi yang penuh konflik serta penyerangan atas nama agama. Hal itu dijadikan landasan untuk kemudian menginterupsi kegaduhan tersebut dengan menyalakan kembali obor toleransi. Agama tak boleh menjadi alasan untuk bertikai.


“Karena tahun 2000-an itu pascareformasi. Indonesia sedang dalam guncangan konfilk. Dan yang harus kita sesali, saat itu konfiknya dilegitimasi oleh agama. Jakatarub bediri sebagai respons dari itu semua,” papar Wawan, menceritakan awal bermula landasan Jakatarub terbentuk. 


Dari workshop menjelma komunitas

Bermula dari mengikuti serangkaian workshop mengenai keberagaman dan toleransi yang terselenggara oleh kolaborasi Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), Institute for Culture and Religion Studies (INCRes), dan The Asia Foundation.

 

Para peserta yang terdiri dari 30 orang perwalikan berbagai agama di Jawa Barat seperti Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Kristen, Penghayat Kepercayan Baha’I, Ahmadiah dan Islam, kemudian membaca tantangan masa depan dialog antaragama dalam konteks kebudayaan Jawa Barat. Workshop tersebut berlangsung di Pesantren Al-Wasilah, Garut, pada 10-12 November 2000.


Bahasan seputar interpretasi doktrin agama, kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat, serta hambatan kultur pergaulan membuka kesadaran mereka untuk berjejaring dengan harapan dapat menjembatani masyarakat agar lebih memahami wawasan keberagaman.


 

Kegiatan diskusi kaum muda lintas agama oleh Komunitas Jakatarub. (Foto: dok. istimewa)

 

Tak berhenti di situ, workshop kemudian berlanjut pada 20-22 April 2001 yang disokong oleh Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) serta tokoh agama dan budayawan nasional dari Jawa Barat. Berlokasi di Vihara Vipassana Graha, Lembang, workhsop tersebut menelurkan rekomendasi untuk segera membentuk jejaring yang diharapkan. 


Berlanjut pada pertemuan di Aula Paroki Hati tak Bernoda Santa Perwan Maria, Bandung, pada 12 Mei 2001, jejaring oleh aktivis muda terbentuk dan kemudian ‘Jakatarub’ diputuskan menjadi nama yang digunakan oleh mereka pada 30 Juni 2001. Kendati demikian, penetapan hari jadi Jakatarub menyesuaikan dengan tanggal digelar kali pertama workshop, yakni 12 November 2000.


Strategi kerukunan

Dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati tersebut menyebut ada empat strategi kampanye yang menjadi pilar program utama Jakatarub. Di antarnya bidang teologi, wawasan kebangsaan, kebudayaan, dan program media. 


Empat bidang yang menjadi pilar Jakatarub dalam menyebarkan misi kerukunan antar umat beragama diimplementasikan ke dalam beragam kegiatan di antaranya, Ngobrol Pintar Teologi (NGOPI), Kemah Pemuda Lintas Agama (Youth Interfaith Camp), Jelajahi Jalur Bhineka, Kampanye Toleransi, Workshop Jurnalisme Damai, Pentas Seni, Penerbitan Buku Dialog 100 yang berisi kisah toleransi, dan Gerakan Bandung Lautan Damai.


Wawan menutur bahwa keragaman harus dikelola dengan melibatkan emosi. Menurutnya, interaksi antar pemeluk agama yang terjadi selama pertemuan dapat menghadirkan ‘feel’ tersendiri dan hal itu adalah penting. Salah satu upaya menghadirkan ‘feel’ yang Jakatarub inisiasi adalah dengan melalui program Kemah Lintas Agama.


“Kalau Natal, teman-teman Muslim datang membagikan bunga mengucapkan Selamat Natal. Begitupun pada saat bulan puasa, teman-teman Kristiani dan Katolik mengapresiasi kami untuk menyelenggarakan acara buka bersama salah satunya di Gereja Santo Mikael. Nah, bahkan bukan hanya buka bersama, tapi kami juga pernah acara sahur bersama,” ungkap Wawan.


“Kami juga pernah mengantar anak-anak SD kunjungan ke tempat-tempat ibadah, melalui Jelajahi Jalur Bhineka ini ya kami antar,” imbuhnya.


 

Kegiatan Youth Interfaith Camp oleh Komunitas Jakatarub. (Foto: dok. istimewa)

 

Salah satu anggota Jakatarub, Reni Sujinah merasa terbantu dengan adanya jejaring Jakatarub dalam menggerakan toleransi khususnya di kalangan muda. Perempuan asal Cirebon ini mengaku bahwa strategi Jakatarub dalam mengemas kegiatanya sangat menarik minat generasi muda. 


“Di situ nggak ada perbedaan buat setiap agama meskipun tampilan tiap anggotanya berbeda. Mereka itu nggak menganggap berbeda. Kegiatan moderasi yang dibawakan Jakatarub itu selalu asyik dan kekinian,” ungkapnya.


Tak hanya itu, Jakatarub juga memanfaatkan media sosial dan media daring dalam menyebarkan misi kerukunan. Media-media tersebut cukup efektif dalam mejangkau kalangan muda dan menyampaikan gagasan untuk membuka ruang dialog di antaranya.


Membumikan toleransi, menggerakkan perdamaian

Di Kota Bandung, terdapat sejumlah kawasan yang menjadi lokasi rumah ibadah antaragama berposisi saling berhadapan. Kawasan tersebut meliputi daerah Pagarasih, Andir, dan Jalan Kelenteng.


Sie. Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Gereja St. Mikael, Ignatius Sonny Hermawan menyebut bahwa lingkup di kawasannya sangatlah plural. Selain terdapat berbagai macam gereja, masjid, kelenteng, dan wihara pun turut memeriahkan jagat rumah peribadatan di sana. 


Keberagaman menjadi sesuatu yang praktis, seraya ia mengisahkan satu waktu saat dirinya menerima sebuah angket. 


“Bahkan ada satu hal yang unik, kami pernah mengalami ada angket gitu, ya. Jadi dari pihak masjid di rumah saya itu ada angket, mereka memberi selebaran ke warga non-Muslim. Menanyakan apakah suara azan mengganggu atau tidak. Itu kan, bagi saya mungkin sesuatu hal yang luar biasa, ya. Menurut saya ini penghormatan atau penghargaan dari teman-teman Muslim terhadap non-Muslim,” terangnya.


Berangkat pada pengertian toleransi di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang bermakna memaklumi adanya perbedaan, Wawan membaginya kedalam beberapa level. Pertama, pemaham terhadap makna toleransi. Kedua, memalkumi adanya dan bekerja sama dalam perbedaan. Ketiga, bukan hanya bekerja sama, tetapi juga mendorong kepada adanya perbedaan.


“Jadi, saya sebagai seorang Muslim mendorong teman-teman Kristiani baik dalam Kristennya, dan teman-teman Kristiani mendorong saya baik dalam Keislaman saya. Sehingga, Indonesia tidak ada konflik. Karena Indonesia itu dibangun oleh kebhinekaan kita, tidak dibangun oleh persamaan,” paparnya.


Seseorang cenderung menjadi tidak moderat, toleran, dan mencintai perdamaian karena terbentuk oleh lingkungan. Oleh karena itu, Wawan menyebut bahwa Jakatarub menganut paham dialog antarsahabat sebelum melakukan dialog antaragama. “Dan itu harus mempunyai pengalaman, mengalami perjumpaan-perjumpaan dengan orang lain (berbeda keyakinan),” katanya.


Ia berharap, dengan diamalkannya toleransi secara baik, jiwa empati untuk saling menghargai akan bertumbuh dan berbuah kerukunan masyarakat. Toleransi tak boleh mati, karena ialah ciri budaya negeri ini.


Semangat toleransi Kota Bandung seindah ungkapan M.A.W Brouwer yang berbunyi “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”.


Penulis: Nuriel Shiami Indiraphasa

Editor: Fathoni Ahmad


Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI