Nasional

Kaleidoskop 2024: Murur dan Tanazul Pertama Kali Dilakukan Secara Sistematis untuk Jamaah Haji

Jumat, 27 Desember 2024 | 08:00 WIB

Kaleidoskop 2024: Murur dan Tanazul Pertama Kali Dilakukan Secara Sistematis untuk Jamaah Haji

Suasana Masjidil Haram dipadati jamaah haji. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Skema murur dan tanazul haji pertama kali diterapkan secara sistematis pada penyelenggaraan haji 2024.


Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag) RI akan kembali memberlakukan murur dan tanazul pada musim haji 2025, bahkan skemanya akan terus diperkuat demi keamanan dan kenyamanan jamaah haji terutama jamaah kategori lanjut usia (lansia), berisiko tinggi (risti), jamaah berkursi roda, dan jamaah pendamping.


Murur adalah skema yang diterapkan pada sebagian jamaah haji untuk mengantisipasi kepadatan di Muzdalifah. Skema ini dilakukan dengan cara jamaah haji yang selesai wukuf di Arafah diangkut menggunakan bus dan melintas secara pelan melewati Muzdalifah.


Sementara tanazul adalah skema yang diberikan kepada jamaah haji yang mengalami sakit dan tidak bisa melanjutkan rangkaian ibadah sunnah haji. Skema ini diberikan kepada jamaah yang sudah melaksanakan semua rukun dan wajib haji.


Program murur dan tanazul diberlakukan sebagai solusi atas kepadatan pada saat puncak haji di dua tempat, yaitu Muzdalifah dan Mina.


Direktur Bina Haji Arsad Hidayat (kini Direktur Urusan Agama Islam dan Bina Syariah Ditjen Bimas Islam Kemenag) memperkirakan jumlah jamaah haji 2025 yang mengikuti program murur (melintas di Muzdalifah) nantinya akan lebih banyak daripada 2024.


“Pemerintah Saudi sangat setuju dengan program murur dan awalnya mereka meminta 120 ribu atau 50 persen dari seluruh jamaah haji Indonesia ikut murur saja, tapi kita kan butuh waktu yang panjang untuk diskusi siapa yang berhak untuk melakukan murur dan itu tidak mudah,” ujar Arsad saat hadir dalam kegiatan Jamarah (Jagong Masalah Haji dan Umrah) Angkatan I yang digelar Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Jawa Timur di Pasuruan, pada 13 September 2024, dilansir laman Kemenag.


Skema murur dan tanazul, tegas Arsad, telah mendapatkan persetujuan dari para ulama dan ormas Islam dari PBNU, PP Muhammadiyah, dan Persis. Jamaah yang dimurur dan ditanazulkan harus memenuhi kriteria lansia, risti, berkursi roda ditambah pendampingnya, karena jamaah yang fisiknya kuat diperlukan untuk mobilisasi jamaah yang murur.


Sementara di Mina, area yang ditempati jamaah haji sudah dapat dianggap sebagai masyaqqah. Dengan kuota normal haji Indonesia sebesar 221.000 jamaah, luas area di Mina yang dapat ditempati hanya sekitar 0,8 meter persegi per orang.


“Mina itu sempit, apalagi jika ada tambahan kuota. Solusinya tidak ada yang lain, yaitu sebagian jamaah harus kita tanazulkan,” tegas Arsad.


Ia menambahkan, kebijakan tanazul ini nantinya akan diterapkan kepada jamaah haji yang tinggal di wilayah Raudhah dan Syisyah. Jadi bagi mereka yang tinggal di Raudhah dan Syisyah, tidak menginap di tenda Mina melainkan langsung pulang ke hotel.


Akselerasi data jumlah jamaah yang nantinya akan mengikuti program tanazul. Data tersebut diperlukan untuk kebutuhan kontrak seluruh layanan jamaah pada saat puncak haji dengan pihak Arab Saudi.


Sementara itu, Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Liliek Marhaendro Susilo mengungkapkan bahwa skema murur yaitu mabit (bermalam) dengan cara melintas Muzdalifah dari Arafah, yang merupakan terobosan sangat bagus dari Kemenag.


Skema murur dan tanazul juga telah memberikan dampak positif bagi kesehatan jemaah haji selama menunaikan ritual pada puncak haji.


“Dari segi kesehatan, murur memberikan kontribusi positif,” kata Liliek, dilansir laman resmi Kemenkes.


Liliek menyebutkan, indikator skema murur berdampak positif dapat dilihat dari puncak haji tahun lalu. Pada 2023, setelah safari wukuf, banyak jamaah yang kelelahan dan sakit sehingga harus dirawat hingga meluber di halaman lobi, dengan jumlah mencapai 60 orang.


Skema murur memungkinkan jamaah haji menghemat waktu ketika mabit (bermalam) di Muzdalifah dengan cara melintas sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu tersebut untuk beristirahat di Mina.


Liliek juga merekomendasikan dua hal untuk penyelenggaraan haji tahun depan. Pertama, memperketat skrining jamaah untuk memastikan bahwa jamaah yang berangkat benar-benar mampu mengikuti rangkaian ibadah haji secara paripurna.


Kedua, memastikan jamaah haji terdaftar di BPJS Kesehatan. Saat ini, jamaah haji khusus sudah diwajibkan terdaftar di BPJS Kesehatan. Namun, jamaah haji reguler belum ada aturan yang mewajibkan menjadi anggota BPJS Kesehatan. Untuk itu, jamaah haji reguler diimbau untuk menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).


Sebagai peserta JKN, calon jamaah haji akan difasilitasi program pemeriksaan kesehatan sederhana yang dapat menjadi indikator apakah calon jamaah haji perlu dirawat terlebih dahulu sebelum pembinaan kesehatan.