Ilustrasi: Untuk mengatasi keterpurukan pendidikan di Indonesia itu tidak hanya fokus untuk mengejar ketertinggalan literasi-numerasi saja tetapi juga harus mengembangkan karakter peserta didik.
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Zainal Arifin Junaidi menuturkan bahwa potret pendidikan Indonesia saat ini belum terpenuhi sebagaimana tahap pendidikan yang telah ditetapkan oleh UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, Kebudayaan PBB).
"Di antara tahapan pendidikan itu adalah how to know, how to do, how to be, dan how to live together. Nah sekarang ini, kita lebih mengedepankan atau mengisi how to know atau akalnya saja. Sebab hal itu dilakukan untuk mengatasi keterpurukan peringkat pendidikan kita di PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional)," tutur Arifin, kepada NU Online, Ahad (2/5).
Ia menjelaskan bahwa Indonesia saat ini menduduki peringat ke-72 dari 78 negara berdasarkan data yang dirilis PISA. Ketertinggalan itu lalu dijawab oleh pemerintah dengan mengejar literasi dan numerasi dengan meniadakan Ujian Nasional (UN). UN diganti dengan Asesmen Nasional.
"Tetapi menurut LP Ma’arif NU, tidak sekadar itu (literasi-numerasi) yang harus kita kejar. Tapi juga bagaimana pembentukan karakter dari anak-didik kita. Merdeka belajar misalnya. Itu adalah istilah yang pernah dicetuskan Ki Hajar Dewantara yang saat ini dipakai atau dimaknai hanya sebagai upaya untuk mengejar literasi-numerasi," tutur Arifin.
Padahal, menurutnya, Ki Hajar Dewantara itu justru menekankan pada pengembangan karakter. Karena itu, ia berharap bahwa untuk mengatasi keterpurukan pendidikan di Indonesia itu tidak hanya fokus untuk mengejar ketertinggalan literasi-numerasi saja tetapi juga harus mengembangkan karakter peserta didik.
Pendidikan Indonesia tidak hanya jeblok pada tataran literasi dan numerasinya yang dikur oleh PISA, berada pada urutan ke-72. Tetapi berdasarkan HDI (Indeks Pembangunan Manusia), Indonesia berada di urutan ke-111 dari 134 negara.
"Ini artinya dalam indeks pembangunan manusia juga jeblok, berada di urutan bawah. Jadi, literasi-numerasi jeblok ditambah pembangunan manusianya (human development) juga jeblok. Human development itu karakter, termasuk juga soal pembangunan yang berdaya saing itu. Nah di dalam 18 karakter sebagaimana yang dikehendaki oleh UU Sisdiknas, itu salah satunya kan berdaya saing, itu jeblok," tutur Arifin.
Menurutnya, pendidikan di Indonesia harus dibenahi, tetapi tidak hanya semata mengejar ketertinggalan literasi dan numerasi saja. Sebab terdapat dua hal yang jeblok, menurut PISA dan berdasarkan HDI itu.
"Karena pendidikan itu arahnya juga untuk menyiapkan manusia. Manusia yang mampu bersaing dalam kehidupan yang akan datang, itu yang tadi human competitive development. Sekali lagi, menurut saya, yang perlu dibenahi itu jangan beranggapan bahwa jika literasi-numerasi bagus lalu pendidikan bagus, itu keliru," katanya.
"Menurut saya harus juga dilengkapi dengan pengembangan karakter dan bagaimana hidup bersama sebagai sebuah bangsa. Itu yang oleh UNESCO disebut sebagai how to live together," imbuh Arifin.
Sementara itu menurut Wakil Ketua Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Aris Adi Leksono menuturkan bahwa pada tataran konsep atau perencanaan sistem pendidikan sebenarnya sudah komprehensif. Namun, ada problem pada soal implementasinya.
"Pada tataran konsep sudah tuntas. Tinggal bagaimana mendorong implementasinya. Implementasi ini faktornya banyak. Salah satunya adalah bagaimana Sumber Daya Manusia (SDM) guru betul-betul ditingkatkan kapasitas kompetensinya," tutur Aris.
Sedangkan pola yang bisa dilakukan tentu saja dengan melakukan pemberdayaan komunitas. Tujuannya agar mempercepat proses karena Indonesia merupakan negara yang wilayahnya sangat luas.
Kemudian, potret pendidikan di Indonesia yang juga perlu dilakukan pembenahan adalah soal menjamin kesejahteraan guru sehingga ketika bekerja akan terasa aman dan nyaman. Persoalan ini menjadi sangat problematik.
Menurut Aris, kesejahteraan guru selalu menjadi problem. Mereka terkadang tidak punya biaya yang mencukupi kebutuhan sehari-hari untuk menghidupi keluarganya. Sementara mereka pun harus menyekolahkan anak-anaknya.
"Ini juga perlu diperhatikan, sekalipun kerja guru betul-betul berangkat dari kesadaran pengadian, tetapi kesejahteraan juga menjadi penting. Karena itu akan menjadi motivasi untuk mencerdaskan siswa-siswi," pungkas Aris.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua