Kebencian dan Intoleransi Tak Punya Agama, Dialog Jadi Kunci Merawat Keberagaman
NU Online · Kamis, 30 Oktober 2025 | 19:15 WIB
Senior Advisor Jaringan Gusdurian Inayah Wahid (tengah) dalam Talkshow bertajuk Ngobrol Bareng Beda Iman Satu Tujuan di Pusat Kebudayaan Soka Gakkai Indonesia, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (30/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Senior Advisor Jaringan Gusdurian Inayah Wahid menegaskan bahwa kebencian dan intoleransi bukanlah produk dari ajaran agama mana pun, melainkan lahir dari cara pandang dan pengalaman manusia yang terbatas.
Hal itu disampaikan dalam Talkshow bertajuk Ngobrol Bareng Beda Iman Satu Tujuan di Pusat Kebudayaan Soka Gakkai Indonesia, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (30/10/2025).
Menurut Inayah, banyak orang keliru menautkan kebencian atau sikap intoleran dengan agama tertentu. Padahal, akar persoalannya lebih sering berasal dari lingkungan sosial, pengalaman hidup, serta cara seseorang melihat perbedaan.
“Saya pengen menegaskan dulu kalau kebencian dan intoleransi itu enggak ada agamanya. Enggak karena dia agamanya A, dia pasti intoleran, enggak ada. Itu urusannya sama manusianya, sama lingkungannya,” tegasnya.
Menurutnya, prasangka sering muncul karena ketidaktahuan. Dalam salah satu kisahnya, Inayah bercerita tentang seorang teman yang disangka non-Muslim hanya karena di rumahnya ada simbol salib.
“Ternyata itu rumah budenya, dan dia Muslim. Kalau kita kenal orang sebagai manusia dulu sebelum identitasnya, pasti batas-batas itu akan berbeda,” ujarnya.
Inayah menilai, membangun toleransi bukan lagi soal membicarakan perbedaan iman, tetapi bekerja sama menyelesaikan persoalan bersama tanpa melihat identitas agama.
“Hari ini kita penting ngomongin kebijakan negara yang enggak peduli agama kamu apa, kamu bisa kena. Jadi lebih baik kita fokus kerja bareng-bareng. Karena toleransi itu bukan buat diomongin, tapi dijalani,” katanya.
Sementara itu, Pemuka Agama Konghucu Js Kristan juga menegaskan hal senada. Menurutnya, ketidaktoleranan sering muncul karena kurangnya perjumpaan dan perkenalan antarumat beragama.
“Saya percaya, orang enggak toleran itu karena dia enggak kenal. Makanya kita harus saling berjumpa,” ujarnya.
Kristan juga menuturkan pengalamannya hidup di tengah keberagaman budaya dan agama sejak kecil. Ia menyebut dirinya sebagai produk hybrid dari berbagai latar belakang etnis dan keyakinan.
“Kakek buyut saya dari Dinasti Ming, nenek buyut saya orang Sunda Muslim. Saya sekolah di UIN Syarif Hidayatullah. Jadi, dari dulu sudah terbiasa bergaul lintas iman,” ungkapnya.
Bagi Kristan, sikap saling menghormati tidak muncul dari dogma, melainkan dari hubungan manusia yang tulus dan saling menghargai.
“Saya punya banyak teman Muslim yang sangat peduli dengan kami yang minoritas. Kalau pun ada yang keras, ya itu bukan karena agamanya salah, tapi karena cara pandangnya yang sempit. Jadi kita enggak boleh generalisasi,” jelasnya.
Kegiatan ini menghadirkan berbagai tokoh lintas iman yang menegaskan pentingnya dialog dan perjumpaan sebagai jalan membangun toleransi sejati, di antaranya Brian Siawarta (Kristen), Priska Baru Segu (Katolik), Habib Husein Jafar (Islam), dan Kiki Tanzil (Buddha, perwakilan dari Soka Gakkai Indonesia).
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua