Kebijakan Ekonomi Demi Pertumbuhan Dinilai Kerap Menuntut Pengorbanan HAM
NU Online · Selasa, 9 Desember 2025 | 22:15 WIB
Direktur Celios Bhima Yudhistira dalam Ngobrol Bareng bertema Menerangi Katastrofe HAM: Urgensi Gerakan Warga di Tengah Kuasa yang Mengaburkan Kebenaran di Twin House, Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia kini terjadi secara sistemik, terutama melalui kebijakan ekonomi yang menuntut pengorbanan demi pertumbuhan. Narasi pertumbuhan ekonomi tinggi, menurutnya, kerap dijadikan pembenaran untuk mengabaikan hak-hak dasar warga negara.
“Alasan yang dipakai selalu sama, demi lapangan kerja, demi ekonomi tumbuh tinggi. Seolah-olah untuk mencapai pertumbuhan 8 persen harus ada yang dikorbankan dan HAM menjadi salah satu trade-off-nya,” kata Bhima dalam Ngobrol Bareng bertema Menerangi Katastrofe HAM: Urgensi Gerakan Warga di Tengah Kuasa yang Mengaburkan Kebenaran di Twin House, Kala di Kalijaga, Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025).
Bhima mencontohkan momentum awal 2025 ketika pemerintah akhirnya membatalkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Keputusan itu, kata dia, merupakan kemenangan kecil yang menunjukkan bahwa isu HAM tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi warga.
“Harusnya tahun baru itu Presiden bicara optimisme. Tapi yang diumumkan malah pembatalan PPN 12 persen. Di situ terlihat bahwa persoalan HAM terkait langsung dengan perut,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa banyak proyek yang merusak ruang hidup masyarakat mulai dari hilirisasi nikel hingga proyek food estate sebenarnya dibiayai oleh pajak rakyat. Karena itu, saat negara mendorong Proyek Strategis Nasional (PSN) secara masif, rakyat turut menanggung beban lewat kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN.
“Bahan bakarnya PSN itu pajak. Begitu juga Makan Bergizi Gratis (MBG), kita bisa debat panjang soal dapurnya, tapi intinya tetap pajak,” tegasnya.
“Bahkan bayi yang masih di dalam kandungan dan belum lahir dan belum terdaftar di KK, sudah menjadi objek pajak. Check up kandungan pun kena pajak,” tambahnya.
Menurut Bhima, pendekatan represif negara terhadap aktivisme turut memperparah iklim ketakutan di masyarakat, Ia mencontohkan kasus kriminalisasi terhadap sejumlah aktivis seperti Delpedro, Syahdan, Muzaffar, dan Dara Munif yang terjadi usai gelombang demonstrasi Agustus lalu.
“Penangkapan-penangkapan itu membuat UMKM yang protes soal pajak daerah jadi takut. Ini menciptakan climate of fear,” paparnya.
Ia menyebut bahwa kenaikan pajak daerah yang ekstrem seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak hingga 200 persen di Pati atau bahkan lebih di beberapa wilayah lain seharusnya memicu perlawanan publik. Namun, banyak warga akhirnya memilih diam karena situasi represif.
“Seharusnya ada gerakan besar menggugat APBN, menggugat kebijakan efisiensi anggaran yang mematikan ekonomi daerah. Tapi karena kawan-kawan masih ditahan dan represi terus berlangsung, orang jadi takut bersuara,” katanya.
Bhima menekankan pentingnya memperluas narasi HAM agar tidak hanya dipahami sebagai isu hukum atau politik, tetapi juga hak hidup layak, lingkungan sehat, dan pekerjaan yang bermartabat.
“Tidak semua orang harus baca buku HAM atau paham KUHP. Tapi ketika mereka merasa sedang memperjuangkan masa depan generasi dan lingkungan, itu juga perjuangan HAM,” ujarnya.
Untuk itu, ia mendorong konsolidasi lintas sektor antara aktivis HAM, kelompok ekonomi, komunitas musik, hingga pelaku UMKM agar suara perlawanan dapat menyebar lebih luas.
Bhima juga menyoroti hadirnya gelombang baru aktivisme (new wave activism) yang tidak lagi terpusat pada kegiatan siang hari di ruang-ruang seminar. Banyak pekerja yang ingin terlibat tidak memiliki waktu luang kecuali malam hari.
“Kalau acaranya siang, bagaimana yang kerja sebagai ojol, pekerja kantoran? Maka acara malam hari dan di daerah-daerah jadi penting,” jelasnya.
Bhima menegaskan bahwa memperluas narasi HAM kepada isu ekonomi rakyat dapat menjadi jalan untuk memperkuat gerakan sosial yang lebih besar. Ia berharap pusat-pusat konsolidasi di daerah terus tumbuh sehingga gerakan pembelaan terhadap hak rakyat tidak hanya bertumpu pada kota-kota besar.
“Begitu kita mengaitkan penindasan ekonomi, status warga, dan hak sebagai pembayar pajak, maka cakupan gerakan HAM akan meluas. Acara offline di daerah-daerah jangan terabaikan. Di situlah pusat-pusat konsolidasi baru,” tuturnya.
“Kalau kita menganggap ini krisis politik, ekologis, dan ekonomi, maka pembagian peran sambil tetap berkonsolidasi jadi sangat penting,” pungkasnya.
Terpopuler
1
KH Said Aqil Siroj Usul PBNU Kembalikan Konsesi Tambang kepada Pemerintah
2
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
3
Silaturahim PBNU Sesi Pertama di Tebuireng Selesai, Prof Nuh: Cari Solusi Terbaik untuk NU
4
Kiai Sepuh Respons Persoalan PBNU: Soroti Pelanggaran Pemakzulan dan Dugaan Kekeliruan Keputusan Ketum
5
PWNU–PCNU Se-Indonesia Ikuti Keputusan Mustasyar di Tebuireng terkait Persoalan di PBNU
6
PBNU Terbitkan Surat Undangan Rapat Syuriyah-Tanfidziyah, Tembusan ke Rais Aam
Terkini
Lihat Semua