Jakarta, NU Online
Angka kekerasan pada perempuan pada masih dianggap sangat tinggi. Dua kasus kekerasan perempuan yang baru-baru ini marak yakni kasus mahasiswi UGM Agni (bukan nama asli) dan Baiq Nuril. Mahasiswi UGM Agni melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh teman satu programnya, HS, saat melakukan Kuliah kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku.Â
Namun justru karena itu, Agni 'dihukum' dengan mendapat nilai C sementara teman lainnya mendapat nilai lebih baik. Alasannya, oleh Pengelola KKN, Agni dianggap bertindak ceroboh dengan menginap di tempat itu. Pengelola juga menilai peristiwa perkosaan itu telah membuat malu nama UGM di depan warga.
Sementara itu, seorang guru Baiq Nuril dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp500 juta atas pelanggaran UU ITE karena menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila. Padahal rekaman yang berisi percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya ia buat sebagai bukti untuk membela diri.
Komnas Perempuan, Masruhah melihat keduanya sebagai contoh kasus kekerasan seksual dengan modus relasi kuasa dari pelaku. "Korban yang secara posisi lebih rendah rentan dengan ancaman dari pelaku. Bahkan mereka (korban yang posisinya lebih rendah ini) rentan dikriminalkan oleh pelaku," kata Masruhah pada NU Online, di Jakarta Senin (26/11).
Parahnya, Indonesia belum memiliki kebijakan khusus untuk kasus pelecehan seksual sebagaimana dialami Baiq dan kekerasan sebagaimana yang di alamani Agni. Oleh karenanya ia mendorong agar DPR segera mengesahkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. "RUU Penghapusan kekerasan seksual adalah jawaban untuk penjeraan bagi pelaku dan pemulihan untuk korban. Sayangnya hingga kini RUU ini blm dibahas secara sungguh oleh Panja Komisi 8 dan masih berkutat pada meminta pandangan para pakar," lanjutnya.
Ia berharap pimpinan DPR RI bisa mengingatkan Panja Komisi 8 untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU tersebut. "RUU ini memuat unsur penanganan, perlindungan dan pemulihan bagi korban, peranserta masyarakat dalma upaya pencegahan kekerasan seksual, penindakan dan penjeraan bagi pelaku," paparanya.
Masruhah melanjutkan bahwa masyarakat memiliki peran penting untuk melakukan pemulihan bagi korban. Pemulihan paling sederhana yang dapat diperankan adalah memiliki sikap empati pada korban, dan tidak menyalahkan.Â
Hal ini senada dengan sebuah kajian yang ditulis oleh Iwan Awaluddin Yusuf, seorang pengajar di Universitas Islam Indonesia dalam The Conversation. Ia menyebut bahwa salah satu penghambat penanganan kekerasan seksual pada perempuan di Indonesia adalah kuatnya budaya menyalahkan korban.Â
Iwan menulis bahwa 'Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak penyintas akhirnya takut melaporkan kasus yang dialami. Para korban khawatir akan mendapat stigma buruk. Mereka juga dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan pemerkosaan tersebut'.
Baru-baru ini, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Sekmen P3A), Pribudiarta Nur Sitepu menyebut bahwa prevalensi tingkat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mencapai 30 persen, dan pada 33 persen. "Kalau di sini (Indonesia) ada tiga perempuan maka satu mengalami kekerasan. Prevalesinya 30 persen. Juga anak-anak, ada 33 persen yang mengalami kekerasan baik fisik, psikis maupun seksual," katanya di Detik.com.Â
Masruhah yang merupakan warga Nahdlatul Ulama menilai bahwa NU sebagai sebuah organisasi dengan basis sosial yang kuat yang setengah dari anggotanya adalah perempuan, perlu lebih memperhatikan isu ini secara lebih dalam. "Bisa dengan mengintegrasikan isu hak asasi perempuan dan gender dalam kurikulum pendidikan program kaderisasinya," katanya. (Ahmad Rozali)