Nasional

Keterwakilan Perempuan di Dapil Tak Penuhi 30 Persen, Fatayat NU: Kemunduran

Rabu, 15 November 2023 | 00:30 WIB

Keterwakilan Perempuan di Dapil Tak Penuhi 30 Persen, Fatayat NU: Kemunduran

Ketua PP Fatayat NU, Margaret Aliyatul Maimunah. (Foto: Dok. Fatayat NU)

Jakarta, NU Online

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas dugaan pelanggaran administratif pemilu, Senin (13/11/2023). 


Hal ini terkait dengan sikap KPU yang menetapkan daftar calon tetap untuk pemilihan legislatif 2024 tanpa memperhatikan Undang-Undang Pemilu dan putusan Mahkamah Agung berkaitan dengan keterwakilan perempuan 30 persen.


Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengamanatkan bahwa daftar bakal calon anggota legislatif harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Selanjutnya, pada 29 Agustus 2023, MA telah memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terkait dengan cara penghitungan 30 persen perempuan dalam pencalonan di tiap daerah pemilihan. Meski demikian, KPU tetap menetapkan daftar calon tetap (DCT) Pemilihan Legislatif 2024 dengan mengacu pada norma yang telah diminta dicabut itu.


Menanggapi persoalan tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama, Margaret Aliyatul Maimunah menyayangkan tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan dalam DCT DPR. Padahal kuota 30 persen keterwakilan perempuan sudah digaungkan sejak lama.


"Saya menyesalkan dan menyayangkan tidak terpenuhinya keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen dalam DCT DPR. Kondisi ini saya kira adalah kemunduran yang luar biasa mengingat kebijakan tentang minimal 30 persen sudah lama diputuskan, yaitu sejak bulan Juli tahun 2001," kata Margaret kepada NU Online, Senin.


Lalu mengapa kuota 30 persen keterwakilan perempuan tidak terpenuhi? Padahal dalam regulasi sudah mengamanatkan bahwa dalam menentukan komposisi di panggung politik (anggota legislatif dan KPU-Bawaslu) harus memperhatikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan (Pasal 10 Ayat (7) dan Pasal 92 Ayat (11) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum).


Margaret menjelaskan, banyak faktor yang melatarbelakangi itu. Kebijakan tanpa disertai adanya sanksi bagi yang melanggar komitmen keterwakilan 30 persen perempuan di DPR tentu menjadi salah satu pendukung tidak terpenuhinya kuota 30 persen.


"Hal lain yang juga mendukung tidak terpenuhinya kebijakan ini adalah lemahnya komitmen para pemimpin Partai Politik (Parpol)," kata Margaret.


Tindakan afirmatif

Perjuangan perihal 30 persen keterwakilan perempuan dalam dunia politik sudah ada sejak era reformasi 1998, yakni melalui dorongan kebijakan affirmative action (tindakan afirmatif). Tindakan afirmatif bertujuan agar perempuan memperoleh peluang dan kesempatan yang setara dalam bidang politik.


"Kita sudah punya kebijakan affirmative action sebagai payung hukum yang jelas mengenai keterwakilan perempuan di legislatif, nyatanya kebijakan tersebut belum pernah terealisasi di Indonesia," ungkap Komisioner KPAI itu.


Margaret merinci data keterwakilan perempuan dari tahun ke tahun. Pemilu pada tahun 1999, perempuan yang berhasil lolos di DPR hanya 8,8 persen. Kemudian pemilu 2004 meningkat ke angka 11,82 persen, lalu pada 2009 meningkat kembali menjadi 17.86 persen. 


Pada pemilu 2014 persentase keterwakilan perempuan di DPR justru menurun ke angka 17.32 persen, dan kembali meningkat pada pemilu 2019, yaitu 20.8 persen.


"Kalau itu sudah menjadi komitmen, saya kira enggak perlu menunggu ada sanksi terlebih dahulu untuk dapat mewujudkan kebijakan affirmative action," ungkap Margaret.


Margaret menyebut jika regulasi ini tak terpenuhi ke depan akan sulit melahirkan kebijakan berperspektif perempuan dan perlindungan anak.


"Saya enggak bisa membayangkan dampak dari situasi dan kondisi ini nantinya karena para pemegang kebijakannya tidak memiliki pengalaman terkait atau tidak memiliki perspektif perempuan dan perlindungan anak," tandasnya.


Sementara itu, aktivis perempuan, Ervi Zidni Al-Maani menjelaskan akar masalahnya berawal dari peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota yang tak jadi direvisi.


"Sebelumnya KPU berjanji akan merevisi pasal yang mengatur pembulatan ke bawah bagi jumlah representasi bakal caleg perempuan di dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023. Namun sikap tersebut berubah setelah hasil rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI pada hari Rabu, 17 Mei 2023 yang justru menyepakati agar aturan tersebut tidak direvisi," terang Ervi.


Peraturan ini panen kritik karena menerapkan kebijakan baru yang tidak mendukung upaya afirmasi calon anggota legislatif (caleg) perempuan, dengan adanya teknis pembulatan ke bawah. "Keputusan ini yang dinilai tidak berpihak sama perempuan," jelasnya.


Di sisi lain, lanjut Ervi, KPU mengklaim seluruh partai politik peserta pemilihan umum (pemilu) 2024 telah memenuhi alokasi 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan di semua daerah pemilihan (dapil).


Jumlah ini, terang dia, diragukan berbagai pihak apakah ratanya itu DPR saja. Sebab, ada anggapan bahwa tidak tepat jika untuk menghitung keterwakilan perempuan berdasarkan rata-rata nasional seluruh dapil. Sehingga nantinya ada toleransi kepada kondisi sejumlah dapil yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen.


"Ini makanya kenapa banyak yang meminta KPU untuk meninjau ulang keterwakilan perempuan dan keputusan KPU," tandas dia.


Klaim KPU

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengklaim, seluruh partai politik peserta pemilihan umum (Pemilu) 2024 telah memenuhi alokasi 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan di semua daerah pemilihan (dapil).


"Untuk caleg perempuan, caleg perempuan dari semua partai politik, 18 partai politik itu keterwakilannya untuk di semua dapil di seluruh Indonesia itu sudah di atas 30 persen," kata Hasyim dilansir Kompas.


Hasyim tidak membeberkan secara detil mengenai proporsi jumlah caleg perempuan yang diajukan masing-masing partai politik di setiap dapil.


Namun, ia menekankan bahwa secara rata-rata proporsi tersebut telah memenuhi syarat 30 persen caleg perempuan di setiap dapil.


"Kalau dibuat rata-rata, dari 18 partai politik peserta pemilu nasional itu jumlah persentasenya adalah 37,13 persen," kata Hasyim.


Selain itu, Hasyim menyebutkan bahwa ada 11 partai politik yang mengisi seluruh slot caleg yang tersedia atau mengusung 580 orang caleg dalam Pemilu 2024.


Sebelumnya, Hasyim mengungkapkan bahwa ada 9.917 orang caleg DPR yang masuk Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2024. Mereka akan bertarung untuk memperebutkan 580 kursi DPR di Senayan.