Nasional

Ketika Demonstrasi Menjadi Cermin Demokrasi yang Diabaikan

NU Online  ·  Ahad, 14 September 2025 | 09:41 WIB

Ketika Demonstrasi Menjadi Cermin Demokrasi yang Diabaikan

Aksi massa yang didominasi para pengemudi ojol, di Simpang Lima Senen, Jakarta Pusat, menuntut keadilan untuk korban, pada 29 Agustus 2025. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 
Saya masih ingat jelas, Jumat sore, (29/8/2025) ketika langkah kaki saya berhenti di depan Polda Metro Jaya. Udara Jakarta terasa lebih panas dari biasanya.


Ribuan massa, mayoritas mahasiswa, telah berkumpul sejak siang. Mereka datang membawa poster, bendera, dan tuntutan yang menggema dari pengeras suara, keadilan untuk Affan Kurniawan, driver ojek online yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob sehari sebelumnya.


Sejak awal, saya tahu liputan kali ini tidak akan mudah. Wajah-wajah mahasiswa yang saya temui di jalan tampak bersemangat mereka masih menyala. Mereka baru saja melakukan long march dari kawasan FX Sudirman menuju Polda Metro Jaya. Di barisan depan, saya melihat spanduk besar bergambar Affan dengan kalimat “Keadilan untuk Affan”. Tepat di depan pagar Polda, bunga-bunga ditaburkan sebagai tanda duka dan solidaritas.


Tabur Bunga yang Membawa Duka
Pukul 15.00 WIB, massa berdiri khidmat. Tabur bunga dilakukan di depan gerbang utama Polda Metro Jaya. Saya ikut menundukkan kepala, membayangkan bagaimana Affan seorang pekerja ojol, harus kehilangan nyawanya saat mencari nafkah. Aroma bunga bercampur dengan asap rokok dan panas terik sore, menghadirkan kontras yang menusuk hati.


Orasi-orasi mahasiswa terdengar bergantian. Fatin Humairo, Koordinator Forum Perempuan BEM SI Wilayah Jabodetabek-Banten, mengambil pengeras suara. Dengan lantang ia menyebut tragedi Affan sebagai “titik balik” yang membuktikan kegagalan aparat menjaga keselamatan warga.


“Kami menolak praktik dwifungsi jabatan dan mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset. Kasus Affan harus diusut tuntas,” katanya, disambut gemuruh tepuk tangan massa.


Saya mencatat, sembilan tuntutan aksi 28 Juli lalu kini ditambah dua tuntutan baru. Atmosfer sore itu jelas yaitu rakyat sudah kehilangan kesabaran.


Sekitar pukul 15.30 WIB, suasana mulai memanas. Dari arah dalam Polda, iring-iringan mobil dinas dan bus polisi hendak keluar menuju kawasan FX Sudirman. Namun, puluhan motor milik demonstran yang memakai almamater berwarna hijau lumut langsung menghadang jalan. Saya berdiri tak jauh dari gerbang ketika teriakan keras menggema:


“Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!”


Massa menutup jalur, memaksa kendaraan mundur. Salah satu mobil polisi sempat terdorong, bahkan ringsek. Beberapa polisi akhirnya mendorong mobil itu kembali masuk ke dalam kompleks Polda. Sorak-sorai pecah, seakan massa berhasil memenangkan satu babak kecil.


Saya merasakan dada saya ikut berdegup kencang. Di balik kamera yang saya gunakan untuk mendokumentasikan, saya menyadari bahwa eskalasi bisa melonjak kapan saja.


Menjelang sore pukul 16.00 WIB, mahasiswa semakin banyak berdatangan. Pagar Polda Metro Jaya sempat jebol ketika massa mendesak masuk. Dari pengeras suara, orator menyerukan agar Kapolda Metro Jaya turun langsung menemui mereka.


“Kami mau Pak Kapolda hadir di sini! Masih banyak teman-teman kita yang ditangkap. Kami menuntut penjelasan langsung!” teriak seorang orator.


Saya melihat Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Dekananto, akhirnya keluar menemui massa. Ia berbicara dengan nada menenangkan, menegaskan bahwa aparat tidak boleh menggunakan kekerasan.


“Teman-teman kepolisian semua melayani mahasiswa. Tidak ada pembunuhan, tidak ada gas air mata,” katanya.


Namun, pernyataannya segera ditenggelamkan teriakan mahasiswa yang menuntut kehadiran Kapolda.


Hingga pada akhirnya pukul 17.00 WIB Kapolda Metro Jaya, Irjen Asep Edi Suheri datang menggunakan helikopter dan menegaskan bahwa pihaknya telah menahan tujuh anggota kepolisian yang diduga terlibat dalam insiden tersebut. Mereka terdiri dari enam personel Sat Brimob Polda Metro Jaya dan satu perwira Korbrimob Polri.


Nama-nama yang disebut antara lain Aipda M Rohyani, Briptu Danang, Bripda Mardin, Baraka Jana Edi, Baraka Yohanes David, Bripka Rohmad, serta Kompol kosmas K. Gae dari Korbrimob Polri. yang saat itu, ketujuhnya sedang menjalani pemeriksaan di Divisi Propam Mabes Polri dengan melibatkan Komnas HAM dan Kompolnas.


“Beliau (Kapolri) meminta keadilan yang seadil-adilnya melalui mekanisme hukum. Kami juga sudah menyampaikan langsung kepada keluarga almarhum,” ujar Asep.


Setelah saat itu massa mulai membakar ban dan juga traffic cone yang ada di depan Polda hingga menimbulkan api yang cukup besar di hadapan tembok pagar Polda Metro Jaya.


Pukul 18.30 WIB, hujan deras mengguyur kawasan Polda Metro Jaya. Saya berlari kecil mencari tempat berteduh bersama dengan pihak kepolisian, namun mata saya tetap tertuju pada massa yang tetap bertahan di tengah guyuran air.


Yang mengejutkan, api yang sejak sore dinyalakan dengan membakar ban di depan gerbang Polda tidak kunjung padam. Kobaran api justru terus menyala, seolah melawan derasnya hujan. Dari pengeras suara, tuntutan demi tuntutan terus digemakan yaitu mengusut tuntas kasus Affan, reformasi Polri, bebaskan demonstran yang ditahan.


Saya menatap wajah-wajah mahasiswa yang basah kuyup namun tidak gentar. Saat itu saya merasakan sebuah ironi yaitu hujan deras yang mestinya mendinginkan suasana justru menyulut semangat mereka.


Gas Air Mata dan Gerbang yang Tertutup
Sekitar pukul 18.40 WIB, aparat mulai melakukan pembubaran dengan menembakkan gas air mata. Bau menyengat menusuk hidung saya. Saya terpaksa menutup wajah dengan masker, namun mata tetap perih.


Massa mencoba kembali masuk ke kompleks Polda, tapi dua gerbang utama segera ditutup rapat. Suara dari mobil polisi terdengar:


“Rekan-rekan kepolisian jangan sampai ada yang terluka. Jika tidak kuat, bergantian ke belakang," ucap orang dari mobil water cannon.


Selama 2 jam polisi menggunakan tameng dan pentungan berjaga di dalam Polda metro jaya sembari terus menembakkan water cannon dan gas air mata.


Saat itu juga massa melakukan perlawanan dengan menembakkan petasan kembang api ke dalam Polda Metro.


Saya sempat ikut mundur berlindung di belakang kepolisian, sebagai jurnalis saya mengutamakan keselamatan diri saya dibandingkan meliput demonstran yang terus bentrokan dengan aparat.


Sekitar pukul 21.00 WIB, saya mendapat kabar mengejutkan. Seorang jurnalis bernama Ridho dari Milenianews menjadi korban lemparan molotov. Ia terkena dua kali lemparan dari arah massa dan berkali-kali terkena tembakan petasan.


Ia menyatakan kondisinya baik-baik saja, namun, ia juga menceritakan kondisi mahasiswa saat pembubaran sebanyak 2 orang laki-laki dan perempuan menjadi korban kebrutalan aparat dan ditangkap, namun saya tidak mengetahui informasi selanjutnya.


Peristiwa ini membuat saya pribadi merinding. Di tengah hiruk pikuk demonstrasi.


Setelah itu saya sudah berinisiatif untuk mencari jalan pulang dari Polda metro jaya karena kondisi yang makin tidak kondusif untuk keselamatan, namun depan maupun belakang Polda metro terkunci rapat dengan penjagaan ketat, setelah saya berputar mencari jalan keluar ada sebuah kejadian yang terjadi.

 

Pukul 21.30 WIB, api besar tiba-tiba menyala di halte Transjakarta Polda Metro Jaya. Saya yang berdiri tak jauh dari lokasi hanya bisa terdiam sesaat. Asap hitam pekat membumbung tinggi, membuat suasana semakin mencekam.


Seorang polisi yang saya wawancarai singkat mengatakan api bermula dari aksi massa yang menyalakan api kecil di sekitar halte. “Tiba-tiba apinya cepat nyebar,” katanya.


Hingga pukul 22.40 WIB, api belum juga padam. Upaya pemadaman terus dilakukan, sementara gas air mata kembali ditembakkan untuk menghalau massa yang mencoba bertahan.


Menjelang tengah malam, massa masih bertahan di sejumlah titik. Kobaran api di halte belum sepenuhnya padam, sementara gas air mata sesekali kembali ditembakkan.


Karena sudah mendekati tengah malam, saya mengobrol dengan 2 jurnalis lainnya dari Metro TV pada saat itu mereka kebetulan ingin pulang setelah mendapatkan jemputan dari kantor, tak ayal saya meminta izin untuk ikut bersama dalam mobil agar bisa keluar dari Polda Metro Jaya yang masih terkepung oleh demonstran, hingga akhirnya saya ikut pulang membersamai mereka.


Hari itu, saya bukan hanya meliput sebuah demonstrasi. Saya menyaksikan langsung bagaimana duka, kemarahan, dan perlawanan rakyat bertemu dalam satu di depan Polda Metro Jaya.


Tabur bunga untuk Affan berubah menjadi amarah kolektif. Desakan bertemu Kapolda berubah menjadi bentrokan. Hujan deras gagal memadamkan semangat massa. Bahkan api di halte Transjakarta pun menjadi simbol bahwa gejolak rakyat tak mudah dipadamkan.


Sebagai jurnalis, saya pulang dengan perasaan campur aduk lega karena selamat, sedih karena melihat banyak korban, dan gelisah memikirkan arah bangsa ini ke depan.


Saya hanya bisa berharap, catatan yang saya buat hari itu menjadi pengingat yaitu bahwa suara rakyat tidak bisa dibungkam dengan kekerasan. Bahwa setiap nyawa, termasuk Affan Kurniawan, tidak boleh menjadi korban sia-sia.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang