Nasional

Keunggulan RUU TPKS: Kelengkapan Alat Bukti hingga Pendampingan Korban

Jumat, 4 Maret 2022 | 22:00 WIB

Keunggulan RUU TPKS: Kelengkapan Alat Bukti hingga Pendampingan Korban

Keunggulan RUU TPKS

Jakarta, NU Online

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Maria Ulfah Anshor menjelaskan tentang urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) agar segera disahkan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. 


Maria kemudian menyebutkan berbagai keunggulan yang terdapat di dalam substansi hukum RUU TPKS. Keunggulan itu ada pada kelengkapan alat bukti hingga pendampingan kepada korban kekerasan seksual. 


Pertama, alat bukti. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 184 ayat (1) menetapkan lima jenis alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 


Sementara RUU TPKS menambahkan alat bukti lain yaitu keterangan korban, surat keterangan psikolog dan/atau psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik, dokumen, dan pemeriksaan rekening bank. 


“(Alat bukti dalam RUU TPKS) memberi peluang kepada korban untuk bisa memenuhi syarat pembuktian,” kata Maria dalam Media Briefing yang digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) secara daring, pada Jumat (4/3/2022). 


Kedua, sikap aparat penegak hukum. RUU TPKS melarang aparat penegak hukum untuk merendahkan dan menyalahkan korban, membebankan pencarian alat bukti kepada korban, menggunakan pengalaman atau latar belakang korban sebagai alasan untuk tidak melanjutkan penyidikan korban, serta melarang menyampaikan identitas korban ke media massa atau media sosial. 


Ketiga, pemulihan. RUU TPKS juga akan mengatur tentang pemulihan korban, sebelum hingga setelah proses peradilan, serta pengawasan atas proses pemulihan tersebut.


Keempat, larangan mengkriminalkan korban. Di dalam RUU TPKS, korban tidak dapat dijadikan tersangka atau terdakwa atas perkara pidana yang terkait dengan kasus kekerasan seksual yang dialami korban. Kelima, terdapat pendampingan korban. RUU TPKS mewajibkan aparat penegak hukum untuk menyediakan pendamping bagi korban. 


Maria juga menyebutkan berbagai hambatan yang kerap dihadapi korban kekerasan seksual ketika sedang mencari keadilan. Di antaranya, KUHAP menetapkan hanya lima alat bukti yang menyulitkan korban dalam memenuhi syarat pembuktian. 


Tak jarang, korban kekerasan seksual seringkali disalahkan dan bahkan distigma oleh aparat penegak hukum atas kasus yang dialaminya. Lalu, korban kerap mengalami trauma berulang saat menghadapi proses peradilan sehingga banyak di antara mereka yang mencabut kembali laporannya. 


“Mereka akhirnya tidak mau melanjutkan, terutama pada kasus-kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Korban seringkali dilaporkan kembali sebagai pelaku. Ini seringkali terjadi. Lalu korban seringkali tidak mendapat pendampingan karena tidak diatur dalam KUHAP,” jelas Maria. 


Kemajuan dan tantangan RUU TPKS

Pada 30 April 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat pleno penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Kemudian DPR secara resmi mengeluarkan naskah RUU itu yang terdiri dari 11 bab dan 43 pasal, serta mengubah judul RUU dari yang semula PKS menjadi TPKS dalam rapat pleno penyusunan draf pada 30 Agustus 2021. 


Naskah RUU TPKS versi Baleg DPR hanya memuat empat bentuk kekerasan seksual yakni pelecehan seksual (fisik dan non-fisik), pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. 


Sementara naskah RUU PKS (sebelum berubah judul menjadi TPKS), jaringan masyarakat sipil telah merumuskan sembilan bentuk kekerasan seksual. Kesembilan itu adalah pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual. 


“Mari kita perkuat koordinasi dan sinergi untuk mengadvokasi substansi yang hilang. Karena (dari) sembilan jenis kekerasan seksual yang kita usulkan, DPR hanya mengambil lima jenis kekerasan seksual. Empat lainnya, termasuk perkawinan anak dan perbudakan seksual tidak masuk. Padahal ini juga kerap terjadi (dan) penting untuk dikawal,” kata Maria Ulfah.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF