Nasional

KH Miftachul Akhyar Ungkap Tamsil Orang Bersyukur Hanya dengan Lisan Saja

Rabu, 16 Oktober 2024 | 15:00 WIB

KH Miftachul Akhyar Ungkap Tamsil Orang Bersyukur Hanya dengan Lisan Saja

Rais Aam PBNU, KH Miftchul Akhyar. (Foto: tangkapan layar Multimedia KH Miftachul Akhyar)

Jakarta, NU Online

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar mengungkapkan bahwa bersyukur yang berhenti pada lisan ditamsilkan dengan orang yang membutuhkan selimut tapi hanya diambil dan tidak dikenakan.


"Jadi dicontohkan, orang yang (bersyukur) hanya lisannya saja itu sama dengan orang yang sebetulnya butuh selimut untuk melindungi dari sengatan panas dan dingin lalu hanya diambil tapi tidak dipakai," ujar Kiai Miftach dikutip NU Online, Rabu (16/10/2024) melalui pengajian Al-Hikam yang disiarkan lewat Youtube Multimedia KH Miftachul Akhyar.


Kiai Miftach menegaskan bahwa maksud dari analogi tersebut adalah perbuatan bersyukur semacam itu tidak mendatangkan manfaat. Oleh karena itu, Kiai Miftach mengajak jamaah agar berhati-hati menyikapi orang yang dianggap termasuk kategori orang-orang munafik itu.


"Jangan terkecoh, termasuk kelompok orang-orang munafik seperti ini," tutur Pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya itu.

 

Hakikat Bersyukur

Kiai Miftach menguraikan bahwa syukur pada hakikatnya melibatkan tiga unsur sekaligus, yakni keyakinan hati, ucapan lisan, dan gerak anggota badan. Maksud tersebut diambil dari ungkapan al-Syukru Ma'rifatun bil Jinan, Wad Dzikru bil Lisan, Wal 'Amalu bil Arkan.


Ia menjelaskan, yang dimaksud keyakinan hati adalah pengakuan bahwa kehidupan, kesehatan, dan kemampuan manusia adalah mutlak sebagai anugerah Allah swt.


Dalam hal ini, Kiai Miftach, menyontohkan saat mendengar azan dan iqomah lantas segera diikuti dengan gerakan anggota badan untuk berwudhu dan shalat.


Definisi mengenai syukur di atas diperkuat oleh kisah Imam Junaid Al-Baghdadi di usia 7 tahun yang ditanya oleh guru sekaligus pamannya, yakni Syekh Sari as-Saqati tentang definisi syukur.

 

Semasa itu, Imam Junaid menjawabnya bahwa syukur ialah tidak menyalahgunakan nikmat-nikmat yang diberikan Allah swt kepada manusia. Lantas jawaban Imam Junaid tersebut dinilai oleh gurunya mendekati kebenaran.


Sebelumnya, Kiai Miftach mengutip pandangan Salamah bin Dinar ketika ditanya santrinya. Dalam hal itu Abu Hazim, nama masyhurnya, menyatakan bahwa bersyukur harus melibatkan lima bagian tubuh. Lima anggota tubuh itu meliputi mata, telinga, tangan, perut, dan kaki. Sebab bagian-bagian itu menjadi perantara bagi manusia untuk mendapatkan berbagai ilmu.


Jika kelima hal tersebut dapat dikelola dengan baik secara berkesinambungan maka orang akan memperoleh kedamaian dan ketenangan zahir maupun batin.


"Karena kalau semua itu dipegangi, yang ada kedamaian dan ketenangan. Tidak ada cekcok atau gontok-gontokan," tandas Kiai Miftach.


Pengajian syarah Al-Hikam dilaksanakan setiap Jumat pukul 13.30 bertempat di Aula Pondok Pesantren Miftachus Sunnah, Surabaya.