Nasional

Kiai Said Sebut Joko Tingkir adalah Wali Allah

Jumat, 28 Juli 2017 | 13:01 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menceritakan, untuk menyelamatkan Kerajaan Demak maka Sultan Hadiwijoyo atau Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang atau daerah Sukorejo saat ini.

Namun tidak lama ia berhasil memindahkan kerajaan, Joko Tingkir dikudeta oleh Saudara Iparnya Sendiri Sutowijoyo. Lalu, Joko Tingkir pergi untuk mencari seorang guru dan berniat kembali untuk merebut kekuasaan kerajaan. 

“Joko Tingkir lari dan mencari guru. Dapat guru di atas Gunung Dieng Wonosobo namanya Syekh Abdullah Quthbuddin, yaitu seorang mursyid tarekat Qadiriyah,” kata Kiai Said di Gedung PBNU, Jumat (28/7).

Syekh Abdullah, lanjut Kiai Said, mengajari Joko Tingkir tentang makam spiritual. Ada empat puluh makam spiritual yang diajarkan dengan ma’rifat sebagai puncak ajarannya.

“(yaitu) Taubat, wara’, zuhud, tawakkal, ridlo, syukur, tuma’ninah, sakinah, ghaibah, terus sampai empat puluh dan puncaknya ma’rifat,” jelas peraih gelar Doktor dari Universitas Umm Al Qura itu.

Kiai Said menambahkan, setelah Joko Tingkir merasa cukup dengan ilmu yang didapatkannya, ia berniat untuk kembali ke Kerajaan Pajang untuk mengambil alih kekuasaanya yang pernah dikudeta oleh iparnya. Namun ada suara atau ilham yang membisiki Joko Tingkir hingga akhirnya Joko Tingkir mengurungkan niatnya.

“Namun ada ilham atau suara (ke Joko Tingkir), ngapain kamu ilmunya segitu besarnya hanya untuk merebut kekuasaan duniawi, kursi duniawi,” cerita Kiai Said.

Kemudian, imbuh Kiai Said, Joko Tingkir pergi naik sampan di Sungai Bengawan Solo dan pergi ke arah Timur. Di dalam perjalannya itu, Joko Tingkir didorong oleh empat puluh buaya.

“(empat puluh buaya) Yaitu empat puluh makam spiritualnya. Sampai di Desa Tringgobayan Lamongan dan mendirikan pesantren yang menjadi cikal bakan pesantren di Jawa Timur,” urainya.

Menurut Kiai Said, Joko Tingkir atau Hadiwijoyo adalah seorang wali Allah. Joko Tingkir telah meninggalkan pengaruh dan pesan-pesan spiritual. Dari cerita tersebut, Kiai Said menegaskan bahwa jabatan seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk ambisi pribadi. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)