Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjelaskan alasan umat Islam belum cukup jika hanya berpegang kepada Al-Qur'an dan hadits saja. Tetapi juga butuh ijma’ dan qiyas. Dalam syariat-ibadah, NU mengikuti Imam Syafi'i yang secara jenius berhasil menggabungkan antara teks dengan akal. Teks berisi Qur'an dan hadits, sedangkan akal berisi ijma' (akal kolektif, konsensus) dan qiyas (akal individual, analogi).
Hal ini disampaikan alumnus Pesantren Lirboyo itu dalam acara pembukaan Konferensi Cabang (Konfercab) PCINU Amerika Serikat-Kanada yang digelar secara daring pada Sabtu (7/8) malam.
Kiai Said menjelaskan, orang paham agama Islam harus paham Al-Qur'an terlebih dahulu. Dalam Al-Qur'an sendiri, ada macam-macam ayat, mulai dari yang muhkamāt (jelas), mutasyābihāt (samar), muthlaqah (absolut), muqayyadah (bersyarat), Aam (umum), khaas (khusus), nasikhah (menghapus hukumnya), mansukhah(dihapus hukumnya) dan seterusnya.
“Walhasil, kita ikut Madzhab Syafi’i karena Imam Syafi’I berhasil menggagas sebuah metode, cara berpikir mengenai Qur’an, namanya ilmu Ushūlul Fiqh, yaitu prinsip-prinsip memahami istinbath, istidlal dari Qur'an dan Hadits,” terangnya.
Kalau sudah paham Al-Qur'an, lanjut Kiai Said, belum cukup, harus kembali ke Hadits. Hal ini karena di Qur'an masih banyak butuh penjelasan. Ia mencontohkan, dalam Al-Qur'an ada perintah shalat 62 kali, tetapi Al-Qur'an tidak menjelaskan nama shalat itu apa dan berapa kali shalat sehari semalam. Penjelasan itu adanya di Hadits.
“Oleh karena itu kita tidak bisa meninggalkan Hadits. Kalau enggak pakai Hadits kita enggak ngerti. Namanya shalat saja kita enggak ngerti. Berapa shalat yang wajib sehari-semalam saja kita nggak ngerti kalau enggak pegang Hadits,” kata kiai kelahiran 3 Juli 1953 tersebut.
Sesudah Al-Qur’an dan Hadits pun, lanjut Kiai Said, masih belum cukup karena Hadits tidak menjelaskan bagaimana caranya shalat, berapa dan apa saja komponennya. Di sinilah peran para ulama mujtahid seperti Imam Syafi’i, ber-ijtihad dengan pemahaman cerdasnya, sehingga memutuskan bahwa komponen shalat ada 17 (tujuh belas). Keputusan ini kemudian disepakati semua imam mujtahid dan disebut ijma’ (konsensus).
“Jadi seperti yang kita lakukan ini, dalam shalat sehari-hari itu hasil ijtihad Imam Syafi’I,” tegasnya.
Kiai Said kemudian memberi contoh. Kalau ada orang berkata, misalkan, “Saya shalat langsung dari pemahaman Al-Qur’an dan Hadits sendiri. Tidak taqlid kepada Imam Syafi’i.” tetapi saat ditanya ”kamu belajar dari mana shalatnya?” dijawab “dari ayah saya, dari ibu saya sejak kecil”.
“Itu namanya taqlid,” jelasnya.
"Tadinya mengatakan tidak taqlid kepada Imam Syafi’i, tapi mengatakan belajar dari ayah, dari ibu sejak kecil, dari imam mushala di sebelah rumah, itu namanya taqlid. Nanti imam mushallanya dari gurunya. Gurunya dari gurunya, dari gurunya, dari gurunya, mentok pada Imam Syafi’i," tegasnya.
Imam Syafi’i murid Imam Malik. Imam malik murid Imam Rabiah. Imam Rabiah murid Imam Kharijah. Imam Kharijah putra Zaid bin Tsabit. Sahabat Zaid murid Rasulullah saw, karena sahabat.
“Artinya, kita ikut Imam Syafi’i itu artinya kita juga nyambung dengan shalatnya Rasulullah saw. Kita enggak mungkin kalau enggak taqlid dengan Imam Syafi'i. Contohnya Imam Syafi'i, contohnya. Salah satu madzhab empat yang kita contohkan Imam Syafi'i, gitu aja,” jelas ketua umum PBNU dua periode itu.
Masih menekankan pentingnya bermadzhab, kali ini kiai yang kerap kali memakai batik itu memberi contoh lain.
Kalau ada orang berkata: “Saya langsung saja Qur’an dan Hadits.” Coba saya tanya: “Hadits paling sahih menurut Anda apa, haditsnya siapa?”
“Imam Bukhari yang paling sahih. Kita cukup pegang Qur’an dan Hadits Bukhari, sudah cukup,”
“Eh, Mas, Mas, Ustadz. Imam Bukhari yang haditsnya paling sahih itu, yang ada 4000 hadits sahih di kitabnya itu. Beliau menyaring dari 600.000 menjadi 4000 yang sahih saja itu Imam Bukhari taqlid, bermadzhab kepada Imam Syafi’i,” ungkap Kiai Said.
Imam Bukhari namanya Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Beliau wafat tahun 256 H. Sedangkan Imam Syafii Lahir tahun 150 H dan wafat tahun 204 H.(Umur 54 tahun).
“Alhamdulillah, kita Nahdliyin berprinsip: harus bersyariah, bermadzhab kepada salah satu dari imam empat. Kita Indonesia semuanya madzhab Syafi’i,” pungkas kiai yang menyukai lagu-lagu Ummi Kultsum itu, bersyukur.
Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Syamsul Arifin