Nasional

Komnas Perempuan Soroti Kerentanan KBGO dan Ketimpangan Layanan di Wilayah Kepulauan

NU Online  ·  Selasa, 18 November 2025 | 20:30 WIB

Komnas Perempuan Soroti Kerentanan KBGO dan Ketimpangan Layanan di Wilayah Kepulauan

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, dalam Diseminasi Hasil Pengembangan Pengetahuan KBGO dalam kerangka SPPT-PKKTP yang berlangsung daring pada Selasa (18/11/2025). (Foto: tangkapan layar zoom)

Jakarta, NU Online

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, menegaskan bahwa perempuan yang tinggal di wilayah kepulauan menghadapi kerentanan tinggi terhadap Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).


Kerentanan ini diperparah oleh ketimpangan layanan, minimnya sumber daya manusia (SDM), serta terbatasnya perlindungan digital yang memadai.


“Kesenjangan layanan, keterbatasan SDM, dan lemahnya perlindungan digital membuat perempuan di wilayah kepulauan semakin rentan,” ujarnya dalam Diseminasi Hasil Pengembangan Pengetahuan KBGO dalam kerangka SPPT-PKKTP yang berlangsung daring pada Selasa (18/11/2025).


Dalam forum tersebut, Chatarina memaparkan bahwa temuan lapangan diperoleh melalui diskusi terpumpun, wawancara dengan aparat penegak hukum, lembaga layanan, kementerian, hingga perwakilan platform digital. Ia menjelaskan bahwa KBGO merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi atau diperparah oleh penggunaan teknologi dan internet.


“Serangan digital ini menargetkan perempuan secara khusus karena gender mereka, bukan semata masalah teknis,” katanya.


Komnas Perempuan mencatat lonjakan kasus sejak 2017 hingga mencapai puncaknya pada 2021, terutama pada masa pandemi Covid-19. Ada lima pola utama KBGO yaitu malicious distribution, online threats, cyber sexual harassment, infringement of privacy, dan electronic sexploitation.


“Yang paling banyak adalah penyebaran foto atau video tanpa izin,” jelas Chatarina.


Selain itu, Komnas Perempuan menemukan peningkatan kasus digital voyeurism, deepfake, ancaman seksual berbasis pemerasan, pencurian identitas, serta cyber grooming terhadap anak-anak melalui gim daring. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital semakin tidak aman bagi kelompok rentan.


“Predator seksual sekarang banyak bergerak di game online, bukan hanya di ruang chat,” tambahnya.


Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa korban KBGO terbanyak berasal dari kelompok usia 0-17 tahun, mencapai 40 persen dari total kasus. Kelompok usia 18-40 tahun menyumbang 30 persen, sementara 30 persen lainnya berasal dari usia yang tidak disebutkan.


“Ini menunjukkan betapa anak-anak dan remaja adalah kelompok paling rentan,” ujarnya.


Sementara itu, pelaku didominasi usia produktif 18-40 tahun sebanyak 49 persen, diikuti pelaku usia 0-17 tahun sebesar 13 persen, kelompok usia 41-60 tahun sebanyak 6 persen, dan 32 persennya tidak disebutkan.


Dalam aspek hukum, Chatarina menjelaskan bahwa penanganan KBGO mengacu pada UU TPKS, UU ITE, Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2025, UU Pornografi, hingga UU Perlindungan Data Pribadi.


“Pelaku Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik bisa dipidana hingga empat tahun penjara, dan pelanggaran data pribadi dapat dikenai sanksi administratif sampai enam miliar rupiah,” paparnya.


Namun, temuan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa penerapan hukum masih jauh dari ideal. Aparat belum memiliki kemampuan digital forensik yang memadai, SOP berbeda-beda di tiap daerah, dan layanan pelaporan online antarinstansi belum terhubung dengan baik. Kendala pemulihan korban juga sangat besar.


“Pendamping psikologis dan pendamping hukum masih sangat terbatas terutama di daerah, dan kompetensi SDM untuk menangani trauma digital juga masih kurang,” ungkap Chatarina.


Ia menambahkan bahwa fasilitas aman seperti safe house atau safe room hampir tidak tersedia bagi korban KPGO. Teknologi pendukung seperti screen capture forensic belum memadai, dan layanan psikologis, hukum, serta kesehatan pun tidak selalu terintegrasi.


Komnas Perempuan juga menyoroti tingginya risiko reviktimisasi digital, karena konten kekerasan tetap beredar meski korban telah melapor. Mekanisme takedown dari platform digital dinilai belum cukup cepat.


“Korban terus terluka ulang setiap kali konten itu muncul kembali,” katanya.


Komnas Perempuan merumuskan empat masalah utama yaitu kebijakan yang belum responsif gender, keterbatasan SDM dan infrastruktur, lemahnya koordinasi antar lembaga, serta ekosistem digital yang belum aman.


“Komnas Perempuan merekomendasikan penguatan regulasi, peningkatan kapasitas aparat dan UPTD PPA, penguatan digital forensik, serta pendanaan responsif gender untuk pemulihan korban,” ujar Chatarina.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang