Nasional

LBH Pers Terima Puluhan Aduan Ketenagakerjaan, THR hingga Manipulasi BPJS Jadi Masalah Utama

NU Online  ·  Rabu, 17 Desember 2025 | 22:00 WIB

LBH Pers Terima Puluhan Aduan Ketenagakerjaan, THR hingga Manipulasi BPJS Jadi Masalah Utama

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Jakarta, NU Online

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mustafa Layong mengungkapkan bahwa sepanjang satu tahun terakhir, pihaknya menerima 77 pengaduan ketenagakerjaan, dengan mayoritas berasal dari pekerja media.

 

“LBH Pers selama setahun itu menerima sekitar 77 pengaduan ketenagakerjaan gitu. 60 di antaranya adalah pekerja media, berarti ada sekitar 17 pengaduan lain adalah pekerja umum yang bukan di sektor media. Pengaduan yang masuk sebenarnya tidak mencerminkan keseluruhan persoalan yang terjadi di lapangan,” ujar Mustafa dalam Diskusi Publik bertema Rentannya Pekerja dan Kebutuhan Berserikat yang diselenggarakan AJI Indonesia secara daring, Rabu (17/12/2025).


Mustafa menjelaskan, dari puluhan aduan tersebut LBH Pers menemukan sejumlah tren pelanggaran ketenagakerjaan yang berulang. Salah satu yang paling banyak dilaporkan adalah persoalan Tunjangan Hari Raya (THR), mulai dari pembayaran yang ditunda, dicicil, dipotong, hingga tidak dibayarkan secara penuh.


Selain THR, LBH Pers mencatat soal maraknya manipulasi kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Mustafa menuturkan, ada perusahaan media yang menunda pembayaran iuran BPJS selama bertahun-tahun, lalu baru melunasinya ketika jurnalis yang bersangkutan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).


“Yang lebih memprihatinkan, praktik ini justru banyak dilakukan oleh perusahaan media besar. Ada jurnalis yang faktanya masih bekerja, tetapi dicatat seolah-olah sudah di-PHK agar pembayaran BPJS bisa ditutup di tahun tertentu,” ungkapnya.


LBH Pers juga menemukan berbagai modus PHK terselubung, salah satunya dengan memaksa pekerja menandatangani Perjanjian Bersama (PB) yang menyatakan pengunduran diri. Dalam beberapa kasus, perusahaan menciptakan situasi kerja yang tidak nyaman agar pekerja mengundurkan diri secara ‘sukarela’. Selain itu, keterlambatan pembayaran upah hingga pemotongan gaji secara sepihak juga menjadi aduan yang kerap diterima.

Mustafa juga menyoroti lemahnya perlindungan bagi jurnalis Indonesia yang bekerja di perusahaan media asing dengan banyaknya kontrak kerja yang masih menggunakan bahasa Inggris dan mengaburkan hubungan kerja antara perusahaan yang memberi perintah dan perusahaan yang menandatangani kontrak.


Mustafa menilai, sedikitnya jumlah pengaduan ke LBH Pers juga dipengaruhi oleh rendahnya pemahaman jurnalis mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Banyak pekerja yang memilih menerima tawaran perusahaan meski tidak sesuai ketentuan hukum, karena khawatir menghadapi proses panjang tanpa kepastian penghasilan.


“Dalam situasi inilah peran serikat pekerja menjadi sangat penting. Serikat bisa melakukan pendidikan, respons awal, dan pendampingan ketika terjadi pelanggaran. Posisi pekerja akan jauh lebih kuat ketika berserikat,” tegasnya.
 


Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Aisha Shadira, menegaskan bahwa kondisi industri media di Indonesia saat ini menunjukkan tren penurunan yang konsisten. Hal tersebut tercermin dari meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja media dalam beberapa tahun terakhir.


“Dari data yang ada, dalam rentang 2024 hingga 2025 saja jumlah pekerja media yang mengalami PHK meningkat hampir dua kali lipat dan sangat mungkin angka ini jauh lebih besar dari yang berhasil tercatat saat ini,” ujar Aisha.


Ia menyoroti tekanan ekonomi yang dihadapi industri media khususnya pada pergeseran porsi belanja iklan, khususnya iklan digital. Ia mengutip laporan Dewan Pers yang menyebutkan bahwa sekitar 75 persen belanja iklan digital nasional kini tidak lagi dinikmati oleh perusahaan media, melainkan dikuasai oleh platform teknologi global seperti Meta dan Google.


“Akibatnya, banyak perusahaan media kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Kondisi ini memaksa perusahaan melakukan berbagai penyesuaian untuk bertahan, yang pada akhirnya berdampak langsung pada kondisi ketenagakerjaan dan nasib para pekerja media,” jelasnya.


Aisha menjelaskan bahwa dalam situasi tekanan ekonomi, pekerja media seringkali menjadi pihak yang paling rentan. Karena itu, FSPMI mendorong penguatan peran serikat pekerja di perusahaan media sebagai upaya melindungi hak-hak pekerja.


Menurutnya, serikat pekerja sangat penting bagi pekerja untuk memastikan setiap kebijakan perusahaan, terutama yang berkaitan dengan PHK dan kesejahteraan, dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan melalui dialog yang setara.


“Di tengah krisis industri media, perlindungan terhadap pekerja tidak boleh diabaikan. Justru di sinilah negara, perusahaan media, dan serikat pekerja harus hadir untuk memastikan keberlangsungan industri tanpa mengorbankan hak dan martabat pekerja media,” pungkas Aisha.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang