Nasional

Melawan Hoaks Tanggung Jawab Bersama

Sabtu, 3 November 2018 | 18:50 WIB

Jakarta, NU Online
Bahaya berita bohong atau hoaks bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah semata, tapi merupakan tanggung jawab dari semua kalangan. Apalagi di era media sosial, di mana berita bohong dapat dengan mudah disebarluaskan melalui jejaring media sosial. 

“Tidak bisa hanya pemerintah saja yang memerangi berita hoaks. Para guru harus menyampaikan kepada murid-muridnya, tokoh agama atau tokoh masyarakat menyampaikan kepada umatnya atau masyarakatnya,” kata Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Prof Siti Musdah Mulia di Jakarta, Sabtu (3/11).

Prinsipnya, cara terbaik memerangi berita hoaks adalah dengan berpikir kritis. Kebiasaan untuk berpikir kritis, menelaah dan mendalami informasi yang diterima melalui media sosial, akan membantu membedakan berita hoaks mana yang tidak. 

Namun begitu, kebiasaan berpikir kritis, menurut dia mulai menipis. “Yang hilang dari masyarakat kita ini adalah pemikiran kristis dan kehati-hatian serta pemahaman mengenai pentingnya menjaga perdamaian,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia mengingatkan agar tidak buru-buru membagikan konten media sosial, dalam berbagai bentuk baik artikel, gambar atau video yang belum tentu kebenarannya. Jikalaupun sudah dipastikan kebenarannya, ia juga mengingatkan apakah dengan membagikannya akan bermanfaat atau tidak.
 
“Kita  lihat dulu apakah ada manfaatnya apa tidak kalau kita share. Jadi kita bisa tahu, kalau di share ini bisa bahaya atau tidak,” lanjutnya.
 
Kecepatan penyebaran informasi saat ini juga tak lepas dari berkembangnya teknologi informasi. Namun ia mengingatkan bahwa di saat yang bersamaan kecanggihan  teknologi dapat membawa kebaikan sekaligus kemudaratan. 
 
“Semua itu juga tergantung kepada kedewasaan kita. Kita harus belajar menjadi dewasa, karena itu bagian dari  kita sebagai manusia yang dianugerahi akal sehat oleh Tuhan,” ujarnya.
 
Perilaku penyebaran hoaks sendiri tidak melulu berasal dari mereka yang level pendidikannya rendah. Sebagian penyebar infromasi ini juga berasal dari kalangan terdirik. 

“Saya sungguh-sungguh heran bahwa penyebaran hoax itu juga terjadi pada grup-grup media sosial yang didalamnya terdapat orang berpendidikan tinggi, profesor, doktor atau kelompok-kelompok orang terdidik. Saya juga heran hal ini bisa terjadi pada kelompok-kelompok terdidik. Pada urusan hoaks tidak ada bedanya, seolah-olah mereka bukan orang yang berpendidikan,” ujarnya.

Apa yang dikhawatirkan Prof Musdah Mulia pada dasarnya terkonfirmasi oleh temuan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dalam rilisnya beberapa waktu lalu. Dalam temuannya, Mafindo melakukan pemetaan konten hoaks di media sosial di Indonesia. Ada empat hal yang dihasilkan:  

Pertama, terdapat berbagai modus yang digunakan untuk membuat hoaks dan misleading Information yang bertujuan menyembunyikan kebenaran dan memicu kesalah pahaman. Di antara keduanya yang paling banyak adalah disinformasi yang mencapai 66.96 persen.

Disinformasi sendiri didefinisikan sebagai: penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Hal ini berbeda dengan Hoaks atau hoax (pemberitaan palsu), yang merupakan informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat-buat seolah-olah benar.

Kedua, konten baik yang bersifat hoaks (fakta palsu atau disinformasi) didominasi oleh konten politik dengan prosentase sebesar 58.70 persen. Ketiga sebagian besar hoaks tersusun dari gabungan narasi dan foto 50.43 persen. Keempat facebook menjadi media sosial yang sangat dominan dalam menyebarluaskan hoaks 47.83 persen, disusul Twitter 12.17 persen dan WA 11.74 persen.

Secara berurutan jenis konten hoaks didominasi oleh konten isu keagamaan, politik, etnis, kesehatan, bisnis, penipuan, bencana alam, kriminalitas, lalu lintas, dan peristiwa ajaib. (Ahmad Rozali)