Nasional

Menaker Akui Banyak PR Ketenagakerjaan: PHK Sepihak hingga Pemberangusan Serikat Pekerja

NU Online  ·  Rabu, 17 Desember 2025 | 20:00 WIB

Menaker Akui Banyak PR Ketenagakerjaan: PHK Sepihak hingga Pemberangusan Serikat Pekerja

Menaker Yassierli dalam Diskusi Publik Rentannya Pekerja dan Kebutuhan Berserikat yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia secara daring, Rabu (17/12/2025). (Foto: tangkapan layar Zoom)

Jakarta, NU Online

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI Yassierli mengakui masih banyak pekerjaan rumah (PR) di bidang ketenagakerjaan, termasuk persoalan pelanggaran norma kerja, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.


“Yang ingin saya sampaikan, pekerjaan rumah kita di bidang ketenagakerjaan masih sangat banyak. Dari berbagai masukan yang saya lihat, ada ratusan kasus ketenagakerjaan, mulai dari pelanggaran norma kerja dan keselamatan serta kesehatan kerja (K3), upah yang tidak sesuai upah minimum, PHK sepihak, hingga praktik union busting (pemberangusan serikat pekerja),” ujarnya dalam Diskusi Publik bertema Rentannya Pekerja dan Kebutuhan Berserikat yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia secara daring, Rabu (17/12/2025).


Yassierli mengklaim pemerintah terus berupaya menunjukkan keberpihakan kepada pekerja dan buruh. Ia menyebut komitmen tersebut sejalan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto yang secara tegas menyatakan tidak bisa menerima PHK sepihak, sebagaimana pernah disampaikan dalam sejumlah kasus besar, termasuk PHK massal di PT Sritex.


“Pemerintah sangat peduli dengan teman-teman pekerja dan buruh. Komitmen itu kami wujudkan dalam berbagai kebijakan,” ujar Yassierli.


Ia memaparkan sejumlah kebijakan yang telah ditempuh Kementerian Ketenagakerjaan, antara lain kenaikan upah sebesar 6,5 persen pada 2024 serta penerbitan peraturan pemerintah dengan faktor alfa 0,5 hingga 0,9 pada 2025, yang lebih tinggi dibandingkan ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja.


Selain itu, kata Yassierli, pemerintah menerbitkan PP Nomor 6 Tahun 2025 sebagai pengaman melalui penebalan manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).


“Pekerja yang terkena PHK akan mendapatkan 60 persen upah selama enam bulan, ditambah pelatihan reskilling dan upskilling. Ini kami siapkan karena kondisi ekonomi global memang tidak sedang baik-baik saja,” jelasnya.


Yassierli juga menyoroti perhatian pemerintah terhadap pekerja platform digital. Melalui inisiatif bonus hari raya, hampir empat juta pengemudi dan kurir online memperoleh manfaat, meski selama ini mereka kerap tidak mendapatkan THR karena berstatus mitra.


Ia menuturkan, pemerintah juga menyalurkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada 15 juta pekerja, membuka program magang bagi lulusan, serta menyediakan subsidi perumahan FLPP bagi buruh yang hingga kini telah menjangkau sekitar 200 ribu orang.


Yassierli mengakui pengawasan ketenagakerjaan masih menjadi tantangan besar, jumlah pengawas ketenagakerjaan di bawah Kementerian Ketenagakerjaan hanya sekitar 140 orang untuk mengawasi sekitar 80 ribu perusahaan di seluruh Indonesia. Kondisi itu terlihat dari kanal Lapor Menaker yang menerima lebih dari 8.000 pengaduan sejak pertama kali dibuka.


“PHK tidak boleh dilakukan seenaknya. Harus ada proses musyawarah, perundingan bipartit, dan mediasi. Begitu juga dengan penunggakan gaji, pemotongan upah sepihak, dan union busting, semuanya harus kita tegakkan aturannya,” pungkas Yassierli. 


 


Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Edi Faisol memaparkan kondisi pekerja media yang dinilainya semakin rentan. Berdasarkan catatan AJI, pada 2024 terdapat 373 pekerja media yang kehilangan pekerjaan, sementara pada 2025 jumlahnya meningkat menjadi 582 orang.


“Kondisi pekerja media di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu jurnalis lepas (freelance) dan pekerja organik, dan keduanya telah didokumentasikan AJI sebagai data dasar,” jelasnya.


“Jurnalis freelance tidak memiliki hubungan kerja resmi dengan perusahaan sehingga tidak mendapatkan hak normatif, bahkan kini ada perusahaan media yang mengusulkan upah berdasarkan page view, yang berpotensi melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan,” tambahnya.


Edi juga menjelaskan bahwa dalam catatan AJI sepanjang 2025, terdapat sedikitnya enam perusahaan media, baik lokal maupun nasional, yang dilaporkan pekerjanya karena pelanggaran ketenagakerjaan, antara lain tidak membayar THR secara utuh, pemotongan upah sepihak, manipulasi data BPJS, hingga keterlambatan pembayaran upah yang berlangsung bertahun-tahun.


“Kondisi ini diperparah dengan sikap pimpinan perusahaan yang cenderung intimidatif. Ketika pekerja mempertanyakan haknya, justru diancam pemecatan. Ini bentuk pembungkaman di dalam perusahaan media sendiri,” tegas Edi.


Menurutnya, situasi tersebut menjadi alasan pentingnya penguatan serikat pekerja lintas media di berbagai daerah. Ia menilai kehadiran negara sangat diperlukan untuk memastikan hubungan industrial yang adil dan demokratis.


“Selama ada perintah kerja, upah, dan karya yang dihasilkan, maka jurnalis adalah pekerja. Negara harus hadir, karena praktik hubungan industrial saat ini masih mencerminkan pola kolonial, bukan negara merdeka,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang