Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Delapan tahun lalu, Juli 2016 masyarakat Indonesia berbondong-bondong mudik Lebaran. Antuasiasme masyarakat untuk pulang ke kampung halaman saat itu tinggi sekali. Khususnya bagi mereka yang tinggal di Ibukota dan sekitarnya.
Selain karena aktivitas mudik menjadi momentum yang ditunggu bagi para perantau. Akses jalan tol di Tanah Jawa yang telah dibuka lebar oleh pemerintah membuat masyarakat semakin bersemangat untuk mudik.
Bayangkan saja, tol Trans Jawa disebut mampu memangkas waktu tempuh hingga membuat jarak Jakarta-Brebes menjadi 4 jam saja. Sejak 1 Juli 2016 masyarakat mulai meninggalkan Jabodetabek dan menyesaki jalan tol Trans Jawa.
Dua hari kemudian tragedi itu terjadi. Penumpukan kendaraan berkilo-kilo meter terjadi di tol Palimanan-Kanci sumbernya adalah pintu tol Brebes Timur. Masyarakat umum menyebut kemacetan yang terjadi di kawasan Brebes sebagai ”Brexit”, akronim dari Brebes Exit.
Istilah itu sudah digunakan terlebih dahulu untuk merujuk pada proses keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa atau Britain Exit. Jadi, di tingkat dunia, ada Brexit yang berarti Inggris tak lagi menjadi anggota Uni Eropa, sedangkan di tingkat nasional, ada Brexit yang mengacu pada peristiwa kemacetan parah di Brebes-Tegal, delapan tahun silam.
Selama berjam-jam kendaraan tidak bergerak sama sekali, bahu jalan dipenuhi pemudik yang beristirahat dari kebuntuan. Situasi ini seperti neraka bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit tertentu. Tragis, 17 orang pemudik dilaporkan meninggal dunia, kebanyakan mengalami sakit dan kelelahan selama arus mudik Lebaran sejak 29 Juni hingga 5 Juli 2016 di wilayah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Jumlah tersebut diperoleh dari data resmi Dinas Kesehatan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Brebes yang dibenarkan oleh Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho.
Penuh petaka, ungkapan yang bisa digambarkan dalam tragedi Brexit tahun 2016. Peristiwa bermula terjadi kemacetan di pintu keluar tol itu dan mengakibatkan antrian mencapai 16 kilometer. Antrean ini disebabkan lambatnya pembayaran tol di gerbang Brexit yang saat itu jumlah tarifnya yakni Rp146.500.
Banyaknya kendaraan yang kehabisan bahan bakar di Brexit menambah parah kemacetan di sana, kala itu. Penjual bahan bakar dadakan juga berseliweran, mereka mematok harga mulai Rp50.000 per liter. Harga tersebut enam kali lipat dari harga bahan bakar resmi kala itu.
Adanya pasar tumpah ataupun deretan penjual yang menawarkan dagangan di pinggir jalur arteri pantura, terutama di kawasan Indramayu dan Subang, Jawa Barat dan lampu lalu lintas yang berdekatan dengan pintu keluar tol menambah parah kemacetan di Brexit.
Pengendara yang mengantre dan menyerobot di SPBU juga kian memperparah kemacetan. Warga sekitar juga turut membuat toilet dadakan untuk para pengendara. Kemacetan panjang juga membuat banyak pemudik memilih untuk shalat di bahu jalan. Namun, saat ini infrastruktur dari jalan tol di Indonesia kian mengalami pertumbuhan untuk lebih maju.
Kemacetan sekarang tentu saja tetap terjadi tetapi, tidak seperti Brexit dulu. Bagaimanapun, kemacetan sulit dihindari karena ada lonjakan drastis volume kendaraan pada masa mudik Lebaran. Kapasitas jalan tol, jalur arteri, dan jumlah gerbang tol yang pada hari-hari biasa sangat memadai menjadi tak mampu menampung kendaraan pemudik.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berharap, tragedi kemacetan parah di pintu keluar Tol Brebes Timur atau Brebes Exit (Brexit) pada 2016 tidak boleh terjadi lagi.
Dengan 17 korban dilaporkan meninggal dunia akibat terjebak kemacetan selama puluhan jam di tol pertama Trans Jawa itu, kata dia, Brexit menjadi momen terburuk dalam sejarah tradisi mudik di Indonesia.
"Pengalaman Brexit 2016 itu tidak boleh lagi terjadi. Semua kementerian dan lembaga sudah siap (mengantisipasi), tetapi masyarakat juga harus siap menghadapi situasi,” kata Moeldoko dalam konferensi pers Kesiapan Pemerintah Menghadapi Risiko Bencana Hidrometeorologi yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (2/4/2024).
Pemerintah telah menyiapkan pelayanan terbaik bagi masyarakat menjelang arus mudik dan balik Lebaran, termasuk untuk menghadapi risiko bencana hidrometeorologi.
Moeldoko menggarisbawahi pentingnya upaya membangun kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan selama perjalanan.
"Sangat penting untuk sedia payung sebelum hujan. (Masyarakat) perlu menyiapkan makanan, minuman, mobilnya disiapkan, BBM juga harus penuh. Jangan sampai ada kemacetan nanti tidak siap,” kata Moeldoko.
Ia berharap tradisi mudik tahun ini benar-benar dapat dinikmati oleh masyarakat sesuai dengan tagline “Mudik Ceria Penuh Makna”.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua