Jakarta, NU Online
Isu toleransi memang penting. Namun, yang tidak kalah penting adalah menggali makna filosofis di balik perayaan hari toleransi itu sendiri. Karena itu, kita jangan sampai terjebak pada euforia dan propaganda yang jangan-jangan kita sendiri lupa memaknai dengan jernih.
Hal tersebut disampaikan Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Fariz Alnizar menanggapi Hari Toleransi Internasional, Sabtu (16/11).
Secara filosofis, kata Fariz, istilah toleransi memiliki makna yang dangkal. Sebab, sikap toleransi dibangun atas dasar 'ketidaksukaan' dan 'ketidaksetujuan'. "Harus ada minimal dua syarat itu dulu, baru kita bisa berikap toleran," tegas Fariz.
Menurutnya, salah satu alternatif dan solusi untuk beranjak dari istilah toleransi adalah membumikan istilah akseptan, menerima apa adanya; tanpa syarat, tanpa pretensi. "Dari akseptan, yakni sikap menerima apa adanya inilah akan lahir harmoni," kata penulis buku antara lain Homo Homini Humor dan Muslim Pentol Korek.
Fariz juga menyebut, jika merujuk catata Geograf Muslim Ibnu Khordadbih dalam buku Al-Masalik Wal Mamalik, Masyarakat Nusantara zaman dulu dilukiskan sebagai sebagai masyarakat yang memiliki kesantunan keramahan, kejujuran, kosmopolit, terbuka, multikultural, dan bukan saja toleran, namun satu tingkat di atas toleran, yakni menerima orang lain sebagai bagian dari dirinya.
"Yang asing tidak didudukkan sebagai yang liyan atau the others. Atau bahkan pada tingkat tertentu yang asing tidak dimaknai sebagai ancaman, justru sebagai bagian yang menyempurnakan," imbuh penulis kebahasaan di Harian Kompas.
Selain itu, aspek lain yang menjadi kedangkalan istilah toleransi adalah dibatasi oleh kadar: aku bisa memaklumimu bersikap ini dan itu tapi sampai kadar tertentu asal tidak melanggar batas dan hak-hak asasi satu sama lain. Itulah toleran.
"Leluhur kita dulu kita bisa menerima yang asing sebagai bagian diri kita, sementara kita semakin hari semakin tidak memiliki kemampuan untuk menerima dan mendudukkan yang lain dengan kita sebagai bagian dari yang menyempurnakan dan memebentuk diri kita, justru yang kita lakukan adalah mempertajam perbedaan dan menggarisbawahi ketidaksamaan," ujarnya.
Kita sibuk berdebat mana yang pribumi, mana asing, padahal leluhur kita berabad-abad tahun lalu memberi teladan bahwa mereka yang tidak sama dengan kita bukan saja harus ditolerir. Namun juga harus diterima sebagai bagian dari anasir yang berguna untu membentuk identitas kita.
"Raib kemanakah kemampuan akseptan bangsa kita? Mari hadirkan kembali dalam praktik kehidupan sehari-hari," pungkasnya.
Editor: Kendi Setiawan