Mengintip Rumah Ibadah Multiagama Itera dan Puja Mandala
Sabtu, 20 November 2021 | 20:00 WIB
Muhammad Faizin
Kontributor
“Dari sudut agama, saya ingin mengingatkan, agar ketidaksenangan kita terhadap seseorang atau suatu kaum jangan sampai menyebabkan kita berlaku tidak adil dalam memutuskan sesuatu.” Inilah petuah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menggambarkan bagaimana toleransi merupakan nilai yang harus senantiasa dijunjung tinggi agar perdamaian selalu menyertai seluruh umat manusia khususnya Bangsa Indonesia dengan segala perbedaan yang ada di dalamnya.
Sebagai agama yang ditakdirkan oleh Allah memiliki beragam suku, bahasa, dan agama, perbedaan harus disikapi dengan arif dan dikelola dengan baik agar tidak memunculkan pertikaian. Sebagai sebuah sunatullah, perbedaan ini malah bisa menjadi sebuah kekayaan yang mampu untuk memperindah diri. Sepakat untuk bersama dan seiring sejalan dalam perbedaan menjadi komitmen yang menjadi sebuah keniscayaan bagi bangsa kita.
Persatuan dalam kebhinekaan ini juga yang menginspirasi Institut Teknologi Sumatera (Itera) membangun rumah-rumah ibadah dalam satu kawasan yang dinamai dengan Rumah Ibadah Multiagama atau Rima. Rima ini terdiri dari rumah ibadah kecil berukuran sama mengelilingi satu ruangan besar yang disebut sebagai Ruangan Bersama. Bangunan ini merupakan ruangan terbuka beratap sehingga memiliki sirkulasi udara yang sangat baik.
Di Ruangan Bersama ini, setiap agama dapat menggunakannya untuk memperingati hari-hari besar keagamaan. Untuk penggunaannya, pihak kampus menunjuk Badan Pembina untuk mengaturnya dengan melibatkan dosen, tenaga kependidikan, perwakilan KM Itera dari masing-masing agama.
Rima berlokasi di dekat Gedung Asrama mahasiswa Itera yang terdiri dari dua area utama yaitu area aula berkapasitas hingga 700 sebagai lokasi kegitan bersama seluruh komunitas agama, serta enam ruangan khusus berukuran lebih kecil untuk ibadah bagi masing-masing agama. Setiap agama yang diakui di Indonesia mendapatkan bangunan sendiri di lokasi yang sama dengan luasan ruangan yang sama.
Ada 6 rumah agama yang dibangun sesuai dengan agama yang diatur secara resmi oleh undang-undang yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu. Rima ini adalah wujud upaya dalam pembinaan karakter sekaligus menyemai sikap toleransi antarumat beragama di kampus tersebut.
Fasilitas peribadahan di dalam masing-masing bangunan rumah ibadah tersebut memiliki fasilitas berbeda dengan menyesuaikan kebutuhan agama masing-masing. Bagi tempat ibadah umat Islam misalnya, dilengkapi dengan tempat berwudhu dan untuk Hindu dilengkapi dengan pondasi untuk membuat pura.
“Agamaku adalah agamaku, dan agamu adalah agamu itu boleh saja, namun kita juga harus bersama-sama menghargai perbedaan yang ada di kampus Itera. Bhineka Tunggal Ika harus selalu kita pupuk di Itera,” kata inisiator Rima Itera, Almarhum Prof Ofyar Z Tamin yang pernah menjadi Rektor perguruan tinggi tersebut, dikutip dari laman resmi Itera.
Gagasan pembangunan Rima Itera ini adalah bagian dari kewajiban Itera dalam menjalankan pendidikan karakter kepada mahasiswa. Sebab, selain harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki hardskill melalui nilai akademik, lulusan Itera juga perlu dibekali soft skill dan pembinaan karakter. Salah satu karakter yang diperlukan adalah sikap religius dan saling toleransi antarumat beragama.
Rumah ibadah ini bukanlah tempat menggabungkan seluruh umat beragama di Itera untuk beribadah di tempat yang sama. Akan tetapi didesain terpisah antar agama untuk melakukan kegiatan keagamaan di ruang masing-masing.
Rima Itera ini mulai dibangun pada 7 April 2021 lalu ditandai dengan peletakan batu pertama (groundbreaking) oleh Prof Ofyar Z Tamin bersama H. Juanda Naim, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung.
Juanda menilai Rima Itera ini memberikan sumbangsih besar bagi kehidupan beragama di Provinsi Lampung serta menjadi simbol moderasi dalam kehidupan beragama di masyarakat. Meski masih berusia muda, inovasi yang dilakukan oleh Itera disebut sangat luar biasa dalam menggaungkan toleransi antaragama.
“Rumah Ibadah Multiagama yang dibangun Itera sudah mencerminkan implementasi moderasi kehidupan beragama. Menjadi tanda masyarakat Lampung sebagai Indonesia mini sudah menerapkan moderasi beragama tersebut di kampus Itera,” kata Juanda.
“Agama adalah tentang hati dan keyakinan dan sudah sepantasnya kita hidup berdampingan,” imbuhnya.
Juanda juga menyebut Rumah Ibadah Multiagama (Rima) Itera dapat menjadi role model penerapan moderasi beragama di lingkungan kampus di Lampung dan nasional. “Ini menjadi sebuah pemikiran inovasi yang baik, apalagi pemerintah memiliki program moderasi beragama,” katanya.
Menurutnya, Kampus perlu mengambil peran dalam menggaungkan moderasi beragama. Sebab moderasi agama bukanlah memoderenkan agama, akan tetapi mengarah pada pemikiran tentang toleransi keberagaman agama yang ada di Indonesia.
Satu konsep dengan Puja Mandala di Bali
Konsep Rima ini sama seperti pusat peribadatan bersama yang ada di Desa Kampial, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Lokasi ini diberi nama Puja Mandala yang di dalamnya ada sebuah Masjid Agung bernama Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Bukit Doa, dan Pura Jagat Natha.
Pendirian Puja Mandala yang memiliki arti "tempat beribadah" bermula dari keinginan warga Muslim yang umumnya pendatang dari Pulau Jawa yang bermukim di sekitar Benoa dan Nusa Dua untuk memiliki masjid sendiri.
Keinginan yang muncul pada 1990 itu didasari kenyataan bahwa mereka merasa kesulitan menjangkau masjid. Pasalnya, masjid terdekat berada di Kuta, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari tempat tinggal mereka. harapan ini pun akhirnya diwujudkan oleh pemerintah dengan membangun pusat peribadatan bagi lima agama sekaligus yang diakui di Indonesia.
Setiap bangunan rumah ibadah memiliki keunikan desain. Masjid Agung Ibnu Batutah yang berlantai tiga dibangun di bagian paling kiri dari Puja Mandala mengambil bentuk susunan limas seperti umumnya masjid di tanah Jawa. Masjid ini mampu menampung tiga ribu orang.
Tepat di samping masjid adalah bangunan Gereja Katolik Bunda Maria Segala Bangsa dengan desain menara lonceng tunggal dan dinding depan gevel mengikuti bagian atap dan bagian belakang gereja berdesain atap tumpang. Di sebelahnya terdapat bangunan vihara dengan dominasi warna kuning gading. Sepintas, bentuknya mirip dengan vihara yang terdapat di Thailand termasuk adanya dua patung gajah putih di pintu gerbang dan pagoda emas di bagian atas vihara.
Berikutnya adalah Gereja GKPB Bukit Doa dengan desain unik berukiran Bali pada beberapa sudut dinding. Termasuk menara lonceng tunggal berukiran Bali. Bagian atap gereja menghadap empat penjuru arah. Tidak ada dinding bangunan sehingga membuat sirkulasi udara menjadi sangat baik dan tidak panas. Bangunan terakhir adalah Pura Jagat Natha.
Untuk keberlangsungan Puja mandala, para pengurus rumah ibadah telah membuat kesepakatan mengenai pengelolaannya. Toleransi tinggi telah mereka tunjukkan sejak rumah-rumah ibadah tersebut berdiri.
Misalnya, ketika tiba waktunya peribadatan umat Kristiani di hari Ahad bersamaan dengan masuknya waktu shalat Zuhur, maka bukan beduk yang dibunyikan, justru dentang lonceng puluhan kali dari Gereja Bunda Maria yang berbunyi. Dentangnya menggantikan suara beduk dan sesaat kemudian baru petugas muazin mengumandangkan azan.
Ketika umat Islam sedang menggelar salat Idulfitri atau Iduladha, misalnya, maka semua pengurus gereja, vihara, dan pura akan bekerja sama membantu menjaga lokasi sekitar shalat dan mengatur arus lalu lintas.
Hal sebaliknya terjadi ketika umat Kristiani menjalani peribadatan Natal dan Paskah, maka pengurus dan umat agama lain terjun membantu. Demikian pula ketika Hari Raya Nyepi, umat agama lain di sekitar Puja Mandala akan terjun membantu pecalang mengamankan lingkungan sekitar pusat peribadatan.
Toleransi antarumat beragama yang ditunjukkan dengan hadirnya Rima Itera dan Puja Mandala telah membawa perdamaian dan kesejukan dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan hanya untuk setiap individu, buah dari kerukunan akan dapat dirasakan bersama dalam bentuk kemajuan pembangunan negara demi terwujudnya kesejahteraan bangsa.
Penulis: Muhammad Faizin
Editor: Fathoni Ahmad
Konten ini hasil kerja sama NU Online dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua