Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Muktamar NU Tolak Cara Kekerasan Aparat dalam Pengambilalihan Lahan Negara

Kamis, 6 Januari 2022 | 15:15 WIB

Muktamar NU Tolak Cara Kekerasan Aparat dalam Pengambilalihan Lahan Negara

Sidang Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Waqi’iyyah Muktamar Ke-34 NU, Kamis (23/12/2021). (Foto: Panitia Muktamar)

Jakarta, NU Online

Sekretaris Sidang Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Waqi’iyyah Muktamar Ke-34 NU KH Sarmidi Husna mengatakan Komisi Al-Waqi’iyyah mendudukkan hak negara dan hak masyarakat atas tanah secara klir. Namun, Komisi Al-Waqi’iyyah Muktamar Ke-34 NU menolak pendekatan kekerasan dalam pengambilalihan lahan negara yang terlanjur diokupasi masyarakat.


Kiai Sarmidi kemudian membacakan hasil sidang Komisi Al-Waqi’iyyah Muktamar Ke-34 NU. "Pemerintah dapat mengambil tanah negara yang diokupasi oleh masyarakat karena termasuk mengelola lahan yang sudah ada pemiliknya tanpa izin," kata Kiai Sarmidi pada rapat penyelarasan hasil enam sidang komisi Muktamar Ke-34 NU di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya Lantai 5, Jakarta Pusat, Rabu (5/1/2022) sore.


Namun, kata Kiai Sarmidi, pengambilalihan lahan tersebut harus dilakukan dengan cara yang baik atau cara yang makruf tanpa ada kekerasan.


Salah seorang perumus hasil sidang Komisi Al-Waqi’iyyah Muktamar Ke-34 NU Alhafiz Kurniawan yang hadir saat rapat mengatakan kepada NU Online bahwa pemerintah memang boleh mengambil alih lahan negara yang diokupasi masyarakat. Tetapi soal cara pemerintah atau aparat dalam proses pengambilalihan lahan tersebut sering menjadi masalah.


"Nah soal cara pengambilalihan itu harus dengan cara tanpa kekerasan. Selama ini aparat menempuh jalan kekerasan dan intimdasi kepada masyarakat dalam mengambil alih tanah negara. Artinya, pemerintah bukan sekadar boleh mengambil alih lahan, tetapi harus dengan cara yang baik, tanpa kekerasan," kata Alhafiz.


Utusan PWNU Lampung dalam Sidang Komisi Al-Waqi’iyyah Muktamar Ke-34 NU pada akhir 2021 lalu menceritakan konflik agraria yang terjadi di Mesuji, Lampung. 


"Tetapi kami yang di Mesuji, tanah kawasan, pemerintah punya regulasi. Kami butuh solusi. Banyak warga di tanah kawasan duduk. Ketika pemerintah ingin mengambil haknya, terjadi bentrok,” kata kiai utusan PWNU Lampung.


Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 241 konflik dengan melibatkan 135.332 KK dan mencakup 624.273 ha. Hal ini belum termasuk konflik yang tidak muncul ke permukaan.


Jika dilihat dari sektornya, konflik dengan perkebunan adalah yang tertinggi 122 kasus, kehutanan 41 kasus, infrastruktur 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, dan agribisnis 2 kasus. Hampir tidak ditemukan konflik yang bersifat horizontal.


Konflik-konflik tersebut seperti di perkebunan dan kehutanan disebabkan oleh ketidakadilan negara dalam mengalokasikan peruntukkan lahan bagi petani atau rakyat. Padahal lahan tersebut berada dalam penguasaan negara.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan