Semarang, NU Online
Peran guru madrasah menjadi seorang motivator dan inspirator bagi anak didik sangat penting. Sebab, mereka membutuhkan dua hal tersebut untuk bekal masa depan. Menjadi guru yang bisa memotivasi dan menginspirasi niscaya memiliki hubungan abadi dengan para murid karena mereka senantiasa terkenang motivasi dan inspirasi dari sang guru.
Demikian arahan Kepala Balitbang Diklat Kemenag Prof Abdurrahman Mas'ud dalam pembukaan lokakarya Pengembangan Pedoman Kualifikasi dan Kompetensi Guru Madrasah yang digelar di Semarang, Kamis (23/11) malam.
“Empat kompetensi yang dimiliki madrasah yang telah kita kenal saya kira sudah biasa. Namun yang lebih penting adalah peran guru atau pendidik. Guru seperti Mbah Sahal Mahfudh, misalnya, itu rasional. Beliau selalu mengajarkan kepada para santri agar berpikir logis,” ujarnya.
Menurut Mas’ud, meski hanya nyantri dua bulan di Kajen selama dua Ramadhan berturut-turut, ia merasakan keakraban sebagaimana para santri yang mondok lama di pesantren asuhan Kiai Sahal ini. Motivasi para guru inspiratif memang dibutuhkan.
“Saya punya contoh lain figur seorang guru inspiratif, yakni, KH Sya'roni Ahmadi Kudus. Beliau merupakan potret guru madrasah. Mbah Sya’roni bagi saya murabbi sejati yang bisa merubah sikap seseorang melalui kata-kata yang bijak. Kalau mengajar di Mesjid Menara Kudus itu diikuti ribuan jamaah. Saya kira tasyabbuh atau proses modeling kepada guru seperti beliau sangat penting,” paparnya.
Kenapa Islam Indonesia itu unik, lanjut Mas’ud, karena mempunyai dua model. Pertama, universal model yakni Nabi Muhammad. Selain itu juga punya domestic model, yakni Wali Songo. Sementara ilmunya Wali Songo diwarisi para kiai. Itulah yang membuat Indonesia ramah terhadap kearifan lokal.
Mas’ud menambahkan, madrasah merupakan the cildren of pesantren. Secara kultural, madrasah lahir dari rahim pesantren. Salah satunya dari sisi kurikulum dan tradisi keilmuan para gurunya. Dua ciri pesantren menurut Kiai Sahal adalah pendalaman sains dan pemantapan akhlak karimah.
Pria kelahiran Kudus ini terkenang waktu kelas VI MI tulisan Arab-nya paling jelek. Lalu, Dengan kata-kata Mbah Sya'roni yang sangat ampuh itulah ia berubah. Seorang pendidik inspirator sekaligus ada peran motivator.
“Akhirnya saya latihan hampir setiap saat, sampai hobi nulis kaligrafi. Waktu kelas I MTs ada lomba kaligrafi dapat juara III se-madrasah. Tapi bagi saya bukan soal kejuaraannya, namun adanya proses menuju kebaikan. Di sinilah peran motivator dan Inspirator seorang guru yg sulit,” tandasnya.
Bapak empat anak ini merasa bersyukur dan bangga empat kali mendapat beasiswa belajar di mancanegara. Bukan dari pemerintah Indonesia tapi Amerika.
“Saya kira itu berkah doa para guru, yang dalam kitab Ta'limul Muta’allim disebut Irsyadu Ustadzin. Hubungan dengan guru model begini Insya Allah akan abadi,” tegas doktor jebolan UCLA Amerika ini.
Bagi Guru Besar UIN Walisongo ini, guru selain sebagai transmitter of knowledge (penyampai ilmu pengetahuan), juga seorang fasilitator. Jadi, bukan memonopoli ilmu sekaligus mendominasi kelas.
“Maka saya minta pedoman ini tolong dikritisi dan bersama-sama disempurnakan. Harapannya, pedoman ini dipakai Ditjen Pendis Kemenag,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)