Jakarta, NU Online
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Nasaruddin Umar mengatakan, jihad bukan untuk membunuh tapi menghidupkan. Ini disampaikan dalam acara Narasi TV saat menanggapi aksi teror bom bunuh di Gereja Katedral Makassar dan penyerangan Mabes Polri.
"Jihad itu bukan untuk mematikan orang. Tapi sebaliknya untuk menghidupkan orang, menghidupkan semangat yang lemah, jihad untuk menghidupkan perekonomian lesu sekarang. Bukan membunuh orang yang tidak berdosa," jelasnya seperti dilihat NU Online dalam tayangan akun YouTube Najwa Shihab, Senin (12/4).
Pria kelahiran Bone Sulsel ini menyoroti aksi teror bom bunuh di Gereja Katedral Makassar yang dilakukan satu seorang perempuan. Dan penyerangan di Mabes Polri, juga dilakukan oleh perempuan berumur 25 tahun. Keduanya masuk kategori generasi milenial.
Dari peristiwa itu dia menyebut perempuan lebih berpotensi terpapar radikalisme daripada laki-laki. Ini diungkapkan dengan melihat hasil survei dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Prof Nasar mengatakan, survei BNPT pada Desember 2020 menunjukkan bahwa perempuan lebih berpotensi melakukan praktik-praktik radikal dalam konotasi negatif daripada laki-laki. Survei ini disebut diukur dari pemahaman kebhinekaan dan literasi digital dari penggunaan media sosial.
"50,3 persen itu adalah berjenis kelamin perempuan, sedangkan 49,4 persen berjenis kelamin laki-laki. Berarti fenomena kekerasan feminisasi ini justru frekuensinya mengalahkan laki-laki," ujarnya.
Fenomena kekerasan feminisasi ini dianggapnya menarik untuk dikaji. Prof Nasar beranggapan, bahwa perempuan gampang tersentuh emosional, kemudian waktu atau kesempatan yang dimiliki perempuan cenderung lebih banyak untuk didoktrin. Di samping itu, perempuan juga adalah pengguna media sosial yang lebih mendominasi.
"Pada saat bersamaan itu antara jam sembilan sampai jam dua siang pengguna WhatsApp, pengguna internet itu justru populasi perempuan juga lebih banyak. Jadi kami menganalisis perempuan yang menggunakan komunikasi bidang media sosial inilah kita ukur di dalam sebuah penelitian se-Indonesia ini (BNPT)," jelasnya.
Dari presentasi survei itu dilihatnya, narasi-narasi yang digunakan soal demokrasi, dianggap tidak sesuai dengan Pancasila dan Kebhinekaan. Prof Nasar menilai semakin ke sini, semakin ada kecenderungan anti terhadap nilai-nilai persatuan, dan Pancasila.
"(Ada kencenderungan tidak setuju) apa itu hak asasi manusia, apa yang disebut dengan bahasa-bahasa modern sekarang ini pluralisme, kemudian juga Bhinneka Tunggal Ika apalagi Pancasila," terangnya.
"Jadi mereka sudah mendapatkan indoktrinasi dari guru-guru spiritual mereka. Bagaimana membenci kalimat-kalimat yang berciri nasionalisme, seperti Bendera Merah Putih, lagu Indonesia Raya," pungkasnya.
Kontributor: Ridwan
Editor: Syamsul Arifin