Pakar Tekankan Perlunya Reformasi KPK untuk Kembalikan Fungsi Asal Demokrasi
NU Online · Selasa, 21 Oktober 2025 | 19:30 WIB
Guru Besar UNJ Robertus Robet saat menyampaikan Kuliah Terbuka bertema Menguji Republikanisme di Indonesia yang digelar di Auditorium Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pada Selasa (21/10/2025). (Foto: NU Online/Mufidah)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Pakar filsafat sosial, Prof Robertus Robet, menekankan pentingnya reformasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengembalikan fungsi asal demokrasi di Indonesia.
Ia menilai, kerusakan desain kelembagaan demokrasi saat ini disebabkan oleh maraknya populisme dan dominasi kekuasaan yang mengabaikan prinsip check and balances.
Hal itu disampaikan dalam Kuliah Terbuka bertema Menguji Republikanisme di Indonesia yang digelar di Auditorium Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pada Selasa (21/10/2025).
Baca Juga
Menjaga KPK dari Upaya Pelemahan
Robert menjelaskan bahwa desain kelembagaan politik semestinya dibangun berdasarkan prinsip negosiasi dan keseimbangan kekuasaan.
Ia menilai proses pelemahan KPK berlangsung melalui berbagai cara, mulai dari perubahan undang-undang hingga penggunaan isu-isu sektarian untuk membenarkan intervensi politik.
“Desain institusional itu bergantung pada bagaimana republikanisme mampu mempertahankan dirinya dari dominasi kekuasaan. Kita tidak hanya bicara soal lembaga, tetapi soal kesiapan politik untuk menjaga prinsip republik,” jelas Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Lebih lanjut, Robert menguraikan bahwa konsep republikanisme klasik menempatkan partisipasi politik dan institusionalisasi sebagai dua pilar utama dalam menjaga demokrasi.
Menurutnya, demokrasi tidak dapat berjalan hanya dengan keberadaan institusi tanpa partisipasi publik yang aktif. Sebaliknya, partisipasi tanpa institusi yang kuat akan melahirkan bentuk-bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang.
“Desain institusional demokrasi kita mengalami kerusakan dalam sepuluh tahun terakhir. Populisme telah merusak lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, hingga partai politik. Akibatnya, KPK yang dulu menjadi simbol check and balances, kini tak lagi bisa berfungsi optimal. Kita perlu reformasi untuk mengembalikannya pada porsi asal,” tegas Robert.
Ia menambahkan, kerusakan institusi bukan hanya persoalan struktur hukum atau regulasi, tetapi juga mencerminkan menurunnya budaya republikanisme dalam politik Indonesia.
Dalam pandangan republikan, negara seharusnya membuka ruang bagi ekspresi politik warga negara, bukan menutupnya dengan dalih stabilitas.
“Republikanisme sejati justru mencegah dominasi kekuasaan melalui partisipasi politik aktif,” ujarnya.
Selain itu, Robert menilai populisme di Indonesia kerap menjadi bumerang. Meskipun dalam batas tertentu populisme dapat memperkuat demokrasi, dalam praktiknya di Indonesia, populisme justru dimanfaatkan untuk melemahkan lembaga-lembaga demokrasi.
Menurutnya, Indonesia selalu memiliki penyakit bernama populisme. Tanpa institusi politik yang kuat, hal itu dinilai berbahaya. Sebab hukum dapat diputarbalikkan berdasarkan keinginan individu.
"Tanpa institusi politik dan tanpa perancangan ulang kelembagaan demokrasi yang jelas, kita dengan mudah dapat terjerumus ke dalam bentuk-bentuk kekuasaan yang sewenang-wenang,” jelasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua