Panitera Muda MA Nilai UU TPKS dan KUHP Baru Perkuat Perlindungan Korban Femisida
NU Online · Senin, 24 November 2025 | 18:00 WIB
Panitera Muda Pidana Khusus MA Sudharmawati Ningsih dalam Peluncuran Kertas Kerja terkait Penguatan Pendataan Femisida untuk Pencegahan, Penanganan, dan Pemulihan Keluarga Korban yang diselenggarakan Komisi Nasional Perempuan secara daring, Senin (24/11/2025). (Foto: tangkapan layar zoom)
Mufidah Adzkia
Kontributor
Jakarta, NU Online
Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) RI Sudharmawati Ningsih menegaskan bahwa perkembangan hukum nasional, khususnya penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, menjadi fondasi penting dalam memperkuat penanganan femisida di Indonesia.
Menurutnya, kerangka hukum tersebut memberi arah yang lebih jelas dan terintegrasi dalam menangani kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan yang dipicu oleh relasi kuasa berbasis gender.
Hal itu diungkap Ningsih dalam Peluncuran Kertas Kerja terkait Penguatan Pendataan Femisida untuk Pencegahan, Penanganan, dan Pemulihan Keluarga Korban yang diselenggarakan Komisi Nasional Perempuan secara daring, Senin (24/11/2025).
Ningsih menyatakan bahwa laporan pemantauan femisida menjadi kontribusi penting bagi upaya penegakan hukum. Ia menjelaskan bahwa tindak pidana femisida yang korbannya perempuan, anak, maupun penyandang disabilitas kini memiliki dasar penanganan yang lebih sinergis dengan KUHP baru.
“KUHP ini juga mengatur pertanggungjawaban berkaitan dengan pelaku disabilitas serta bagaimana perlindungan bagi korban disabilitas berkaitan dengan ancaman pemidanaan. Hal ini juga terkait dengan beberapa kebijakan-kebijakan Mahkamah Agung,” paparnya.
Ia juga menyoroti kondisi penegakan hukum yang masih menghadapi berbagai hambatan. Salah satunya adalah minimnya dukungan masyarakat dan enggannya sebagian pihak membuka kasus femisida karena alasan harga diri, budaya, ekonomi, maupun nama baik keluarga.
“Ada satu kelemahan-kelemahan di dalam proses penegakan hukum itu sendiri yaitu belum sepenuhnya didukung oleh masyarakat,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ningsih menilai akses keadilan (access to justice) belum dimanfaatkan secara optimal, meski pengadilan telah menerapkan sejumlah layanan berbasis digital seperti SIPP, e-Berpadu, dan SIAP Integrasi yang memungkinkan masyarakat memantau proses hukum dengan lebih mudah.
Ia juga mencontohkan beberapa putusan penting, termasuk Putusan Nomor 2561 K/PIDSUS/2010 dan 629 K/KASASI PIDSUS/2014. Kedua putusan tersebut menegaskan bahwa memanfaatkan kerentanan penyandang disabilitas dapat menjadi faktor pemberat pidana.
Selain itu, ia menekankan implementasi Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum dan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur tata cara restitusi dan kompensasi bagi korban.

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan Dahlia Madanih menegaskan, femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh superioritas, dominasi, agresi, misogini, atau relasi kuasa berbasis gender.
“Pengawalan isu femisida ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh Komnas Perempuan, mengingat tidak tersedianya data pilah mengenai pembunuhan di Indonesia hingga kerangka hukum yang belum ada,” ujar Dahlia.
Ia mengapresiasi gerakan masyarakat sipil seperti Jakarta Feminist, Indonesia Hapus Femisida, dan Indonesia Femicide Watch yang kini beranggotakan 28 organisasi. Menurutnya, gerakan kolektif tersebut menjadi bentuk inisiatif warga yang mengisi kekosongan negara dalam merespons isu femisida.
Dalam peluncuran laporan tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan sembilan rekomendasi kepada berbagai pihak untuk memperkuat pencegahan dan penanganan femisida.
Pertama, Kepolisian RI dan BPS didorong melakukan pemilahan data kasus pembunuhan berbasis gender sebagai dasar pendataan femisida.
Kedua, Kepolisian RI perlu menyusun pedoman khusus untuk investigasi femisida yang bebas stereotip dan berorientasi hak asasi manusia, sekaligus memastikan kompetensi aparat dalam menangani kekerasan berbasis gender.
Ketiga, aparat penegak hukum perlu lebih sensitif dalam penggunaan pasal pemberat maupun pasal khusus dari KUHP, UU PKDRT, UU TPKS, dan perlindungan anak.
Keempat, pemerintah wajib memberikan pemulihan dan perlindungan bagi keluarga dan pelapor, termasuk kompensasi dan dukungan psikososial bagi anak korban.
Kelima, media perlu mengangkat konteks relasi kuasa gender dalam femisida serta menghentikan praktik victim-blaming dan normalisasi pelaku.
Keenam, lembaga layanan perlu memperkuat identifikasi risiko femisida dalam laporan KDRT maupun kekerasan berbasis gender lainnya.
Ketujuh, masyarakat, organisasi sipil, dan lembaga layanan perlu mengadakan kampanye publik untuk pencegahan femisida.
Kedelapan, pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dapat memperkuat pemantauan serta literasi publik terkait relasi digital yang berpotensi melahirkan kontrol dan kekerasan yang berujung pada femisida.
Kesembilan, pentingnya kelembagaan untuk pendataan dan pemantauan kasus femisida secara berkelanjutan.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua