Jakarta, NU Online
Membaca sejarah nasional tidak mungkin mengabaikan kaum santri yang telah teruji dalam mengawal negeri ini. Di tengah berbagai masalah yang mendera bangsa Indonesia saat ini, perlu kiranya seluruh elemen bangsa merenungi kiprah dan etos jihad kaum santri.
Demikian disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Sabtu (22/10) saat memberikan pidato pada apel akbar dan upacara Hari Santri di silang Monas, Jakarta.
Menurut Guru Besar Ilmu Tasawuf ini, etos jihad kaum santri berdiri di atas tiga pilar, yaitu Nahdlatul Wathan (pilar kebangsaan), Tashwîrul Afkâr (pilar ke-cendekia-an), dan Nahdlatut Tujjâr (pilar kemandirian).
“Pilar kebangsaan perlu terus dipupuk dan dikembangkan di tengah tarikan faham fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Pilar ke-cendekia-an harus ditegakkan karena kecendekiaan adalah pilar peradaban dan syarat sebuah bangsa meraih harkat dan martabatnya di hadapan bangsa lain,” papar Kiai Said.
Kecendekiaan tidak hanya diukur dari pendidikan formal tetapi mental dan nalar intelektual yang terbuka terhadap pemikiran dan inovasi baru, dengan berpedoman pada kaidah; al-muhâfadhah ala-l qadîmis shâlih wa-l akhdzu bi-l jadîdi-l ashlah (Melestarikan tradisi lama yang baik dan menciptakan tradisi baru yang lebih baik).
Khazanah intelektual Islam yang diakrabi pesantren, imbuh Kiai asal Cirebon ini, merupakan modal intelektual tak ternilai yang menempatkan santri sebagai pewaris sah kebangkitan Islam masa depan. Inklusivisme kaum santri perlu dipupuk di tengah ketertinggalan umat Islam dalam penemuan-penemuan ilmiah dan inovasi sains dan teknologi.
“Jihad santri adalah memerangi kebodohan dan mengintegrasikan penguasaan ilmu duniawi dan ukhrawi,” jelasnya.
Pilar kemandirian adalah prasyarat mutlak maju-mundurnya sebuah bangsa. Tidak ada bangsa yang maju dengan tergantung kepada bangsa lain. Bangsa kita belum mandiri dalam memenuhi hajat hidup pokok warganya.
Sebagian besar kebutuhan pangan dan energi diperoleh dari impor, padahal Indonesia negara agraris yang dikaruniai berbagai sumber daya alam di laut, hutan, dan di bawah permukaan bumi. Harus diingat, ketergantungan adalah antitesis kemerdekaan.
Hari ini adalah saat terbaik bagi kita untuk dapat memaknai Hari Santri sesuai dengan perkembangan dan dinamika zaman yang berkembang. Tantangan yang kita hadapi hari ini meskipun berbeda, akan tetapi semangat dan integritas berbangsa dan bernegara tidak boleh terputus.
“Apalagi di tengah arus budaya popular dan juga silang sengkarut ideologi trans-nasional yang sudah sedemikian masif ini, penguatan nasionalisme dan patriotisme rakyat Indonesia sangat-sangat dibutuhkan,” tegas Kiai Said yang masuk 50 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia ini. (Fathoni)