Jakarta, NU OnlineÂ
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) baru saja menggelar rapat gabungan syuriyah dan harian tanfidziyah di lantai delapan, Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (6/3). Rapat yang diselenggarakan dari siang sampai malam hari tersebut menghasilkan beberapa poin di antaranya menegaskan tentang posisi NU dalam politik praktis.Â
Menurut Ketua PBNU Bidang Hukum H Robikin Emhas, hasil dari rapat tersebut, seluruh jajaran struktural dari PBNU hingga anak ranting, termasuk lembaga dan Badan Otonom (Banom) harus tunduk kepada khittah NU 1926, yaitu NU sebagai jam’iyah tidak berpolitik praktis.Â
"Semuanya harus tunduk dan patuh pada khittah NU dan aturan yang ada," katanya di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis (8/3).
Oleh karena itu, pengurus NU, lembaga dan Banom tidak boleh dukung-mendukung dengan membawa atribut NU dalam setiap hajatan demokrasi, baik Pemilihan Legislatif, Pemilihan Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah.Â
"Tidak boleh mengatasnamakan organisasi NU, termasuk tidak boleh menggunakan bendera, surat, stempel," tegas alumnus Pesantren Miftahul Huda Gading, Malang itu.
Namun demikian, PBNU mempersilakan kepada para pengurus untuk menggunakan hak politiknya karena dijamin konstitusi selama tidak membawa atribut NU.Â
"Jadi boleh pribadi-pribadi memberi dukungan, tapi jangan membawa nama NU, harus secara pribadi karena hak politik sebagai warga negara," katanya.Â
PBNU juga menekankan agar dalam berpolitik mengedepankan etika sebagaimana hasil muktamar NU di Yogyakarta pada 1989. Menurutnya, persaudaraan harus lebih diprioritaskan.Â
"Tidak boleh kepentingan politik praktis elektoral mengalahkan persaudaraan di antara sesama anak bangsa, terlebih-lebih sesama warga NU," tegasnya.Â
Berdasarkan keputusan rapat, PBNU akan membuat surat edaran berupa arahan dan penegasan kepada seluruh struktural NU, termasuk lembaga dan Banom tentang penegakkan khittah. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)