Peneliti Nilai RUU KUHAP Jadi Langkah Mundur dalam Reformasi Kepolisian
NU Online · Selasa, 7 Oktober 2025 | 20:30 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi langkah mundur dalam reformasi kepolisian.
Menurutnya, proses RUU KUHAP yang sedang dibahas DPR justru berpotensi memperkuat instansi kepolisian melakukan praktik yang makin tidak akuntabel.
Pemerintah menargetkan rancangan undang-undang itu disahkan sebelum Januari 2026, bersamaan dengan pemberlakuan KUHP baru.
“Sayangnya di draf yang kemarin sempat dibahas oleh pemerintah dan akan disahkan dalam waktu dekat ini, masalah itu nggak diselesaikan. Yang ada malah akan semakin banyak kewenangan-kewenangan baru di kepolisian,” jelasnya dalam Diskusi Publik AJI Indonesia bertajuk Catatan Kelam Perilaku Polisi: Menagih Reformasi Polri, pada Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, RUU KUHAP saat ini tidak memperbaiki persoalan mendasar, seperti absennya mekanisme check and balance antara polisi dan lembaga peradilan.
“Ini kan semakin bahaya. Makanya penting untuk mulai masyarakat juga mulai melihat agenda Reformasi Polri dan RUU KUHAP itu satu badan,” ujarnya.
Ia juga menyoroti proses pembahasan RUU KUHAP yang berjalan kilat dan minim partisipasi publik bermakna. Ia menyebut, pembahasan antara pemerintah dan DPR hanya berlangsung dua hari pada Juli lalu, dengan perdebatan yang sangat terbatas.
“Kita lihat ini cuma jadi checklist aja, yang penting ada datang, tapi udah dianggap kita sudah mendengar masukan. Tapi hak untuk dijelaskan dan dipertimbangkan itu tidak diberikan,” tegasnya.
Iftitahsari mengutip prinsip meaningful participation dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya mencakup tiga aspek yakni right to be heard, right to be explained, dan right to be considered. Namun menurutnya, dua aspek terakhir tidak terpenuhi.
“Yang dua komponen ini, dari proses partisipasi bermakna, tidak secara optimal diberikan oleh pembuat kebijakan,” katanya.
Dalam substansi RUU, Iftitahsari menilai masih banyak pasal bermasalah, terutama terkait penyelidikan, penangkapan, dan penahanan. Ia mengingatkan bahwa aturan baru berpotensi melanggengkan praktik kekerasan dan salah tangkap, karena tidak ada kontrol yudisial yang memadai.
“Bahkan di kasus narkotika enam hari, di kasus terorisme sampai 21 hari, dan itu kewenangannya murni di satu institusi, di kepolisian aja. Harusnya ada mekanisme kontrol, di mana maksimal 2x24 jam setiap orang yang ditangkap harus dibawa ke depan hakim,” jelasnya.
Ia menilai, jika RUU KUHAP disahkan dalam bentuk sekarang, maka Indonesia justru akan memiliki legislasi yang memperkuat aparat penegak hukum tidak akuntabel.
“RUU ini sangat bermasalah, substansinya kompromi dengan kepentingan aparat penegak hukum tanpa berpihak pada warga sipil. Padahal ini senjatanya kita ketika berhadapan dengan aparat,” tuturnya.
Iftitahsari mengajak masyarakat sipil dan jurnalis untuk mengawal proses legislasi RUU KUHAP serta menekan DPR agar membuka ruang partisipasi bermakna.
“Kita masih punya peluang di waktu yang pendek. Tapi lagi-lagi, kita nggak cuma butuh didengar, kita juga butuh dijelaskan kenapa masukan kita tidak diakomodir. Kalau melihat ambisinya yang mau cepat-cepat disahkan, perubahan signifikan sepertinya jauh dari opsi,” ucapnya.
Ia juga menilai bahwa wajah buram kepolisian Indonesia bukan semata persoalan individu, melainkan masalah sistemik yang memerlukan pembenahan menyeluruh.
Menurutnya, agenda reformasi Polri hanya dapat berjalan jika perubahan dilakukan pada level sistem, bukan sekadar mengganti pimpinan.
“Masalah yang harus dibenahi melalui perubahan sistem. Kita nggak bisa nunggu rely (mengandalkan) sama pimpinan atau mungkin ditempatkan seseorang di sana yang bisa mengubah sistem, nggak bisa. Ini harus berubahnya dari sistem,” ujar Iftitahsari.
Iftitahsari menilai laporan investigatif yang dikumpulkan oleh AJI Indonesia menjadi bukti penting atas bobroknya sistem kepolisian. Ia menyebut temuan AJI dan sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti KontraS menunjukkan banyaknya tindak pidana yang justru terjadi di kantor polisi.
“Liputan teman-teman AJI itu memang penting dan menggambarkan masalah yang sangat sistemik. Gejalanya mulai dari ketidakprofesionalan sampai tindak pidana terjadi di kantor polisi, yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan,” katanya.
Menurutnya, setiap tahun sejumlah lembaga masyarakat sipil rutin seperti KontraS melaporkan insiden penyiksaan dan pelanggaran etik oleh aparat. Namun, data tersebut jarang ditindaklanjuti secara serius oleh pembuat kebijakan.
“Kerja-kerja ini selalu kita lakukan juga, tapi ya itu hanya data tinggal data, tapi nggak ada diperlukan apa-apa oleh pembuat kebijakan,” tambahnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua