Terima Soetandyo Award 2021, Prof Nasaruddin Umar Jelaskan Prinsip HAM dalam Al-Qur’an
Selasa, 14 Desember 2021 | 19:00 WIB
Allah memuliakan anak cucu adam. Ini menjadi dasar bagi Prof Nasar untuk senantiasa memperjuangkan HAM dengan berlandaskan Al-Qur’an.
Aru Lego Triono
Kontributor
Jakarta, NU Online
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof KH Nasaruddin Umar menerima anugerah Soetandyo Award 2021 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, pada Selasa (14/12/2021) pagi.
Setelah menerima penghargaan itu, Prof Nasar kemudian menjelaskan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Sebab Prof Soetandyo Wignjosoebroto dikenal sebagai aktivis dan HAM di Indonesia, sekaligus mendirikan dan menjadi dekan pertama Fisip Unair.
Prof Nasar kemudian terharu karena mendapatkan penghargaan Soetandyo Award 2021. Ia mengaku tidak memiliki apa-apa, tetapi hanya terpaku pada sebuah hadits Nabi Muhammad yang menjadi awal penjelasan mengenai prinsip HAM di dalam Al-Qur’an.
“Kalau Al-Qur’an dipadatkan maka pemadatannya adalah surat Al-Fatihah. Kalau surat Al-Fatihah dipadatkan, maka pemadatannya adalah ayat pertama, bismillahirrahmanirrahim. Intinya basmalah itu adalah arrahman arrahim, itulah yang disebut dengan ummul asma atau induknya nama-nama Allah. Arrahman dan arrahim berasal dari satu akar kata, rahima artinya cinta,” jelas Prof Nasar, dikutip NU Online dari siaran langsung di Youtube Fisip Unair.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa jika 6666 ayat Al-Qur’an dipadatkan maka intinya adalah cinta. Dengan demikian, tidak berhak seseorang mengatasnamakan Islam tetapi isinya adalah kebencian dan kemarahan. Sebab permata Islam merupakan cinta.
Terkait prinsip HAM itu, Prof Nasar juga teringat QS Al-Isra ayat 70 yakni laqad karramna bani adam. Artinya, Allah memuliakan anak cucu adam. Ini menjadi dasar bagi Prof Nasar untuk senantiasa memperjuangkan HAM dengan berlandaskan Al-Qur’an.
“Tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an mengatakan Allah memuliakan Islam, yang ada memuliakan anak cucu adam, apa pun agama dan etniknya, dan apa pun kelasnya,” terang Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Kemudian, ia menjelaskan QS Al-Hujurat ayat 10 yakni innamal mu’minuna ikhwatun. Menurut Prof Nasar, ayat ini bermakna bahwa sesungguhnya orang-orang yang memiliki keimanan adalah bersaudara apa pun formal agamanya.
“Begitu tingginya HAM dalam Islam. Ada 17 kali Al-Qur’an menyebutkan agama Nasrani, 15 kali Al-Qur’an menyebutkan agama Yahudi. Bahkan agama yang disebut aliran kepercayaan, mungkin di Indonesia dianggap sesat, itu pun disebutkan dalam Al-Qur’an. Jadi Al-Qur’an mengajari kita untuk memberikan pengakuan kepada agama lain. Inilah Al-Qur’an pandangan hidup kita,” terang Prof Nasar.
Bahkan HAM dalam Islam tidak hanya melakukan penghargaan kepada hak asasi orang yang masih hidup. Ia mengatakan bahwa mematahkan tulang rusuk orang mati sama dosanya seperti mematahkan tulang rusuk orang hidup.
“HAM itu bukan hanya pada masa hidup. Matinya pun wajib dihormati. Berdosa massal kalau ada orang meninggal tetapi tidak dikuburkan, apa pun agamanya. Semua yang tahu itu, semuanya berdosa. Jadi atas nama pun untuk apa pun kalau tafsiran yang menindas itu harus ditolak,” tegasnya.
Biografi Prof Soetandyo Wignjosoebroto
Soetandyo Wignjosoebroto, lahir di Madiun pada 1932 dari pasangan Soekandar Wignjosoebroto (1901-1989), seorang pegawai Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij, dan Siti Nardijah (1913-2002).
Soetandyo menyelesaikan pendidikan menengah di Solo, kemudian belajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) cabang Surabaya yang kelak menjadi FH Unair.
Sebelum sempat menyelesaikan gelar S1, ia mendapat beasiswa untuk belajar pada Government Studies and Public Administration di University of Michigan (US) dan meraih gelar MPA, satu-satunya gelar akademik yang melekat padanya. Pada 1973, ia berkesempatan mengikuti Socio-Legal Theories and Methods di Marga Institute, Srilanka.
Soetandyo adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fisip Unair dan dikukuhkan sebagai guru besar pada 1987. Pada 1993, ia dipercaya sebagai komisioner pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Setelah pensiun dari Pegawai Negeri Sipil pada 1997, Soetandyo yang menguasai Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman ini terus aktif mengajar Teori Sosial dan Teori Hukum di Universitas Airlangga sebagai Guru Besar Emeritus.
Selain itu, ia mengajar di Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan Universitas Pancasila Jakarta. Soetandyo yang dikenal karena kesederhanaan dan kerendahatiannya ini wafat di RS Elizabeth, Semarang, pada 2 September 2013.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Alhafiz Kurniawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua