Nasional

Pernikahan Usia Anak Jadi Cikal Bakal Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan

NU Online  ·  Selasa, 28 Oktober 2025 | 07:30 WIB

Pernikahan Usia Anak Jadi Cikal Bakal Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi di Jakarta pada Senin (27/10/2025). (Foto: Instagram Arifah.Fauzi)

Jakarta, NU Online

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, menegaskan bahwa pernikahan usia anak menjadi salah satu pemicu utama terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia. 


Pernikahan di bawah umur, menurut Arifah tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik dan mental, tetapi juga memperbesar risiko stunting serta kemiskinan struktural bagi generasi berikutnya.


“Pernikahan usia anak menjadi salah satu penyebab tingginya angka kekerasan pada anak dan perempuan karena pernikahan ini menjadi cikal bakal adanya kekerasan,” ujarnya di Kantor Kementerian PPPA, Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (27/10/2025).


Ia mengatakan bahwa usia ibu yang belum matang sering kali berujung pada persoalan serius dalam pengasuhan anak. Tubuh yang masih dalam masa pertumbuhan dan minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi membuat ibu muda rentan mengalami komplikasi kehamilan dan melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi.


“Karena usianya belum matang, sudah melahirkan, anaknya kurang sehat, kurang gizi, bahkan stunting. Masalahnya karena masih usia anak, ia harus mengasuh anak tanpa memiliki ilmu pengasuhan yang cukup. Jadi, anak mengasuh anak,” ucapnya.


Selain berdampak pada kesehatan, pernikahan usia anak juga membatasi akses pendidikan dan kesempatan ekonomi. Arifah menyampaikan bahwa banyak anak perempuan yang harus berhenti sekolah setelah menikah sehingga kehilangan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga di masa depan.


“Kesempatan pendidikan menjadi sempit, sehingga kesempatan mendapat pekerjaan untuk meningkatkan ekonomi keluarga juga terhambat,” katanya.


Arifah mengatakan bahwa tradisi dan budaya di sejumlah daerah masih menjadi tantangan besar dalam menekan angka pernikahan usia dini. Beberapa masyarakat masih menganggap pernikahan anak sebagai bagian dari adat atau cara untuk menjaga kehormatan keluarga.


“Masih ada tradisi yang membolehkan pernikahan usia anak karena alasan adat atau budaya. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua untuk mengubah pola pikir masyarakat,” tambahnya.


Sepanjang 2025, Kementerian PPPA mencatat peningkatan signifikan laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hingga 20 Oktober 2025, terdapat 25.627 kasus kekerasan dengan 27.325 korban, terdiri dari anak-anak dan perempuan. Angka tersebut menunjukkan pentingnya upaya pencegahan yang sistematis, termasuk melalui penanganan pernikahan anak.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang