Nasional BULAN GUS DUR

Perubahan Besar Era Presiden Gus Dur: Tionghoa, Papua, hingga Tentara

Jumat, 4 Desember 2020 | 10:15 WIB

Perubahan Besar Era Presiden Gus Dur: Tionghoa, Papua, hingga Tentara

Presiden Gus Dur saat bersama warga Papua. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Walaupun hanya menjabat sebagai kepala negara selama 22 bulan, Indonesia di tangan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengalami banyak perubahan besar. Di antaranya adalah soal Tionghoa, Papua, dan persoalan tentara yang pada masa orde baru memiliki fungsi ganda atau dwifungsi. 


Sebelumnya, Presiden Soeharto membatasi berbagai hal yang berkaitan dengan Tionghoa. Hal tersebut dituangkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan Dan Adat Istiadat Cina. 


Pelarangan tersebut termasuk juga tata cara beribadah serta perayaan pesta agama dan adat istiadatnya. Sekalipun dirayakan maka hanya sebatas lingkup keluarga saja. Warga Tionghoa jika ingin merayakan Imlek, pasti mengambil cuti khusus. 


Namun ketika Gus Dur menjabat presiden, Inpres yang mendiskriminasi kalangan Tionghoa itu dicabut melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, pada 17 Januari 2000. Inilah pertama kali Hari Raya Imlek berskala nasional dirayakan secara terbuka. Warga Tionghoa tak perlu lagi bersembunyi untuk merayakan hari raya. 


Sejak itu, Agama Konghucu kemudian ditetapkan menjadi agama resmi keenam di Republik Indonesia ini. Semula, kelompok Tionghoa banyak yang dipaksa untuk memilih satu dari lima agama resmi pemerintah. Namun semenjak era Gus Dur, mereka bisa kembali menganut kepercayaannya.


Masih di era Gus Dur, Menteri Agama RI yang ketika itu dijabat oleh Muhammad Tolchah Hasan mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Kebijakan tersebut kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan menetapkan Imlek sebagai Hari Nasional Baru melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.


Selain Tionghoa, Gus Dur juga membikin perubahan besar mengenai persoalan Papua. Dulu, dua bulan setelah dilantik menjadi presiden, ia berkeinginan mengunjungi Irian Jaya dan berdialog dengan warga di sana. Gus Dur mengatakan, ingin melihat matahari terbit pertama di pulau paling timur di Indonesia itu.


Pada 30 Desember 1999, Gus Dur bertemu dengan elemen masyarakat di Kantor Gubernur Provinsi Papua. Ia mempersilakan masyarakat untuk berbicara. Terdapat banyak curahan hati dan tuntutan dari warga di sana. Mulai dari ketidakpercayaan kepada pemerintah Indonesia hingga permintaan untuk merdeka. 


Salah satu poin permintaannya adalah mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Gus Dur pun mengabulkan itu. Dengan humor, Gus Dur membeberkan alasannya. Pertama, nama ‘Irian’ itu jelek. Kata itu, ungkap Gus Dur, berasal dari bahasa Arab yang berarti telanjang.


Lebih jauh Gus Dur mengungkapkan, dulu ketika orang-orang Arab datang ke Papua, menemukan masyarakatnya masih telanjang sehingga disebut Irian. 


Kedua, ia beralasan bahwa dalam tradisi orang Jawa kalau anak sakit-sakitan, biasanya akan diganti namanya supaya sembuh yang biasanya diberi nama Slamet. “Saya sekarang ganti Irian Jaya menjadi Papua,” tegas Gus Dur, dikutip NU Online dari utas cuitan akun twitter resmi Jaringan Gusdurian, Jumat (4/12). 


Peneliti Gus Dur dan Papua, Ahmad Suaedy menduga mengapa Gus Dur yang menggunakan alasan bahasa Arab dan tradisi Jawa. Menurutnya, Gus Dur sedang berupaya menenangkan hati orang-orang Islam dan orang-orang Jawa yang berpotensi melakukan protes.


Tak hanya itu, Gus Dur juga memperbolehkan warga Papua Bendera Bintang Kejora dan menyanyikan lagu ‘Hai Tanahku Papua’ yang keduanya itu dilarang di era Soeharto. Namun Gus Dur beranggapan bahwa kedua hal tersebut merupakan bagian dari ekspresi identitas kultural.


Dalam sebuah kisah, Menkopolhukam era Gus Dur, Wiranto, pernah melapor soal pengibaran Bendera Bintang Kejora. Gus Dur bertanya, “Apakah ada merah putihnya?” Kemudian Wiranto menjawab, “Ada satu Bendera Merah Putih yang berkibat di sebuah tiang tinggi.


Dengan santainya Gus Dur menjawab, “Ya sudah anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”


Mendengar respons seperti itu, Wiranto tetap mengingatkan bahwa pengibaran Bendera Bintang Kejora berbahaya. Namun secara tegas, Gus Dur justru kembali menegur Wiranto bahwa pikiran itu yang harus diubah. 


“Pikiran bapak yang harus berubah. Apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul. Sepak bola saja banyak benderanya,” kata Gus Dur kepada Wiranto, ketika itu.


Gus Dur merespons persoalan yang membuat banyak nyawa melayang dengan cara yang amat sederhana. 


Selain dari itu, Gus Dur juga mereformasi tugas tentara yakni agar kembali ke barak. Sebab di era orde baru, hampir semua jabatan sipil dikuasai oleh tentara aktif. Mereka tergabung dalam sebuah wadah bernama Golongan Karya. Hal tersebut bertujuan demi menjamin netralitas para prajurit bangsa dan agar tentara benar-benar fokus melindungi negara dari ancaman yang lebih besar. 


Kemudian, ia juga memisahkan TNI dan Polri agar bisa berjalan sebagaimana fungsi masing-masing. Lembaga Kepolisian memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil. Sementara TNI soal keamanan dan pertahanan negara secara militer. Dulu, di zaman Presiden Soeharto, keduanya bercampuraduk. 


Gus Dur pun menggilir jabatan Panglima TNI yang sebelumnya hanya dipegang oleh Angkata Darat saja. Kini, Panglima TNI bisa dijabat oleh Angkatan Laut dan Udara. Panglima saat ini adalah Marsekal Hadi Tjahjanto yang berlatar belakang Angkatan Udara. 


Di samping itu, Gus Dur juga berperan atau terlibat dalam berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI. 


Jaringan Gusdurian beranggapan bahwa Gus Dur semasa menjadi presiden, tidak menginginkan negara berjalan secara totaliter sebagaimana yang dilakukan Soeharto sebelumnya. Tetapi, negara harus ada keseimbangan dan pengawasan. Sementara rakyat, bagi Gus Dur bukanlah objek tetapi subjek yang berdaulat.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad