Jakarta, NU Online
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Ulil Abshar Abdalla berpesan kepada IPNU-IPPNU bahwa harus menaruh rasa bangga menjadi orang Islam di Indonesia. "Jangan merasa minder dengan orang Islam dari dunia lain atau negara luar," katanya dalam acara Nusantara Milenial Summit yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), di The Media Hotel Jakarta, pada Sabtu (22/6).
Ia melanjutkan, jangan hanya karena letak geografis Indonesia jauh dari Ka'bah, Mekkah, dan Madinah, serta Al-Azhar University lalu menyebabkan kedudukan Islam Indonesia lebih rendah. "Kita harus bangga bahwa Islam di sinilah yang berhasil menegakkan perdamaian. Islam di tempat lain belum bisa seperti di Indonesia," kata menantu Mustasyar PBNU, KH Ahmad Musthofa Bisri atau Gus Mus ini.
Menurutnya, Islam di Indonesia lebih sukses dalam menerjemahkan ajaran Nabi Muhammad daripada Islam di negara-negara lain. "Jadi jangan sekali-kali kita merasa rendah diri di hadapan umat Islam di belahan dunia lain. Karena justru Islam di Indonesia bisa diterjemahkan dengan lebih baik," pungkas Gus Ulil.
Sekretaris Jenderal PBNU, H Helmy Faishal Zaini dalam pembukaan Nusantara Milenial Summit menyampaikan bahwa pertemuan yang di penting guna merusmuskan dan meletakkan posisi pelajar NU di era yang penuh tantangan ini sehingga bisa berbuat lebih bagi kemanusiaan dan kebangsaan.
Ia mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga tantangan besar yang dihadapi di era saat ini. Pertama, masuknya paham transnasional, radikalisme, dan terorisme. Hal tersebut bahkan sudah masuk ke kalangan tentara. "Ada informasi mengagetkan bahwa tiga persen TNI terpapar radikalisme. Bayangkan aparat penegak hukum dan keamanan yang terpapar radikalisme," ujarnya.
Mengutip hasil penelitian sebuah lembaga di Amerika Serikat, pria kelahiran 1 Agustus 1972 itu mengungkapkan bahwa sudah ada empat persen penduduk Indonesia terpapar radikalisme. Tantangan lain adalah sektor ekonomi yang saat ini masih mengalami kesenjangan antara orang kaya dan miskin. Hal ini harus dijawab bersama.
Di samping itu, Helmy menyampaikan bahwa sudah ada 53 persen penduduk Indonesia atau sekitar lebih dari 132 juta orang sudah menggunakan gawai. Melihat tiga tantangan tersebut, ia menegaskan bahwa perlu formula menjawabnya dan mengajak keluarga NU untuk bersama-sama menjawabnya.
Para generasi milenial NU, katanya, harus mengembangkan ekonomi, dakwah, dan membuat narasi melawan radikalisme dengan memanfaatkan teknologi informasi, seperti pembuatan aplikasi dan persebaran narasi melalui media sosial.
"Kita harus menjadikan dakwah ini melalui apa yang disebut sebagai sosmed sehingga ajaran ulama kita akan terus menjadi pedoman kehidupan kebangsaan kita sehingga kita tidak terpengaruh paham radikalisme," pungkasnya. (Aru Elgete/Muiz)