Reformasi Polri Jalan di Tempat, Terjebak Politisasi dan Komersialisasi
NU Online · Selasa, 28 Oktober 2025 | 18:30 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai reformasi Polri selama dua dekade terakhir belum menyentuh akar persoalan.
Ia menyebut institusi kepolisian masih menghadapi dua tantangan utama yakni terjebak pada politisasi dan komersialisasi, sehingga membuat agenda reformasi berjalan di tempat.
“Polri hari ini berada di dua sisi: politisasi institusi untuk kepentingan kekuasaan, dan komersialisasi untuk kepentingan bisnis,” ujar Usman dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, relasi politik Polri dengan presiden, partai politik, dan aktor ekonomi telah membentuk wajah institusi kepolisian yang jauh dari ideal reformasi.
Usman mengungkapkan, Polri kerap menjadi alat pengamanan kebijakan pemerintah ketimbang pelindung masyarakat.
Secara historis, Usman menilai akar persoalan Polri dapat dilihat dari filosofi “Bhayangkara” itu sendiri.
“Nama ‘Bhayangkara’ berasal dari pasukan pengawal raja di era Majapahit, bukan pelindung masyarakat,” ujarnya.
Pola itu masih terasa hingga kini. Polisi kerap ditempatkan sebagai alat negara untuk menegakkan kebijakan, bukan sebagai pelindung kepentingan publik.
“Kultur politik itu semakin kuat di masa kini, di mana polisi menjadi alat pembangunan dan alat kekuasaan,” tambahnya.
Meskipun pemisahan Polri dari TNI di era reformasi dianggap sebagai langkah maju, Usman menyebut bahwa budaya militeristik, sistem tertutup, dan ketimpangan akuntabilitas masih melekat di tubuh kepolisian.
Usman juga menyoroti kekerasan aparat dalam demonstrasi besar pada Agustus lalu, yang menewaskan Affan Kurniawan seorang pengemudi ojek online beserta sejumlah mahasiswa, antara lain Reza Sendi Pratama (Amikom) dan Iko Julian Junior (UNES).
Menurutnya, insiden itu menunjukkan lemahnya akuntabilitas dan transparansi penegakan hukum di internal Polri.
“Sampai hari ini tidak jelas penyebab kematian mereka, tidak ada pertanggungjawaban yang memadai, dan tim pencari fakta tak kunjung menuntaskan penyelidikan,” tegas Usman.
Ia mengingatkan bahwa tindakan represif aparat dalam demonstrasi seharusnya tidak dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang memicu eskalasi.
“Kalau kebijakan itu diubah, misalnya soal tunjangan anggota dewan, mungkin tak akan ada peristiwa itu,” ucapnya.
Usman mendorong perubahan paradigmatik dalam tubuh Polri. Reformasi, katanya, tak cukup dengan menata struktur atau personel, melainkan harus mengubah cara pandang polisi terhadap masyarakat.
“Bhayangkara harus diartikan ulang sebagai pelindung masyarakat, bukan pasukan pengawal penguasa. Polisi harus melayani dan melindungi, bukan sekadar menegakkan perintah,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan agar Polri tidak lagi disebut sebagai Kepolisian Negara, melainkan Kepolisian Nasional, yang mencerminkan keterlibatan rakyat dalam fungsi kepolisian.
Usman menilai desentralisasi penting untuk menghindari pemusatan kekuasaan di Mabes Polri.
“Kepolisian masih terlalu tersentralisasi. Seharusnya fungsi dan pengambilan keputusan lebih banyak di tingkat daerah,” katanya.
Selain itu, ia menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan eksternal. Menurutnya, Kompolnas seharusnya berdiri independen di luar struktur Kemenko Polkam dan terpisah dari anggaran Polri.
“Pengawas tidak boleh berada di kompleks yang sama dengan yang diawasi. Kompolnas harus keluar dari Kompleks Polri agar betul-betul netral,” tegas Usman.
Ia juga menyinggung peran Komisi III DPR dan lembaga peradilan yang dinilainya belum efektif mengawasi Polri.
“Kalau Komisi III yang mewakili partai politik tidak kritis terhadap Polri, sulit bagi pengawasan legislatif berjalan. Yudikatif pun kita lihat, dari banyak permohonan uji kasus semuanya ditolak,” katanya.
Usman Hamid memberikan sebuah catatan pesimistis terhadap arah reformasi kepolisian.
“Saya tidak melihat pemerintah sungguh-sungguh melakukan reformasi Polri secara menyeluruh. Bahkan reformasi politik dan kebijakan pun masih bermasalah,” ujarnya.
Menurutnya, tanpa perubahan paradigma, budaya, dan sistem pengawasan yang kuat, reformasi Polri hanya akan berhenti pada tataran slogan.
“Reformasi bukan sekadar memindahkan struktur, tapi mengubah cara pandang kekuasaan terhadap masyarakat. Selama polisi masih menjadi alat politik, keadilan akan sulit ditegakkan,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU Hadir Silaturahim di Tebuireng
6
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
Terkini
Lihat Semua