Reformasi Polri Mandek, Perlu Pembatasan Kewenangan dan Pengawasan Eksternal
NU Online · Selasa, 16 Desember 2025 | 22:00 WIB
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Deputi Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai agenda reformasi kepolisian mandek. Menurutnya, persoalan mendasar reformasi kepolisian berakar pada kesalahan pemaknaan fungsi Polri sebagaimana diatur dalam konstitusi.
“Selama hampir 20 tahun terakhir, sejak kewenangan kepolisian diatur dalam undang-undang, terjadi kekeliruan serius dalam memaknai fungsi kepolisian yang diatur dalam Pasal 30 ayat (4) dan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Kekeliruan ini menimbulkan lubang besar yang berdampak pada pelebaran tugas dan kewenangan Polri tanpa diimbangi pengawasan eksternal yang memadai,” ujarnya.
Menurut Fajri, selama ini fungsi kepolisian hampir selalu dirujuk semata pada Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 karena secara eksplisit menyebut Kepolisian Negara Republik Indonesia. Padahal, terdapat fungsi lain yang sama pentingnya dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang selama ini diabaikan.
“Padahal Pasal 24 ayat (3) berbicara tentang badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Di dalam risalah pembahasan konstitusi pascareformasi, ketentuan ini sejak awal dimaksudkan untuk mengatur kepolisian dan kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana,” jelasnya dalam Seri Diskusi FKP bertajuk Reformasi Kelembagaan Polri Konsistensi Fungsi, Pembatasan Kewenangan, dan Penguatan Pengawasan Eksternal, pada Selasa (16/12/2025), dikutip NU Online dari Youtube PSHK Indonesia.
Ia menegaskan bahwa dua fungsi konstitusional itu seharusnya menjadi patokan utama dalam memahami peran kepolisian. Pertama, fungsi penegakan hukum melalui penyelidikan dan penyidikan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Kedua, fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Kedua fungsi ini harus dimaknai dan dipisahkan secara tegas. Meski berada dalam satu institusi, keduanya memiliki logika tata kelola, dasar hukum, dan mekanisme pertanggungjawaban yang berbeda,” kata Fajri.
Fungsi keamanan tanpa pengawasan
Fajri menjelaskan, fungsi kepolisian dalam sistem peradilan pidana memiliki kerangka hukum yang relatif jelas melalui hukum acara pidana dengan mekanisme saling mengimbangi antara kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Namun, kondisi berbeda terjadi pada fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Untuk fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana Pasal 30 ayat (4), sampai hari ini tidak ada sistem hukum yang secara komprehensif mengaturnya. Tidak ada undang-undang yang membangun sistem keamanan nasional dan hubungan antarlembaga secara seimbang,” ujarnya.
Akibatnya, fungsi keamanan dipersonifikasikan secara tunggal pada institusi kepolisian.
“Apa pun yang dikeluarkan oleh Polri, itulah yang kemudian dimaknai sebagai keamanan nasional, tanpa mekanisme check and balance dari lembaga lain,” tambahnya.
Ia membandingkan kondisi tersebut dengan sektor pertahanan. Menurutnya, pemisahan TNI dan Polri pascareformasi diikuti dengan pembentukan sistem pertahanan negara melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002. Sementara di sektor keamanan, negara justru langsung membentuk Undang-Undang Polri tanpa terlebih dahulu merumuskan sistem keamanan nasional.
“Inilah perbedaan perlakuan yang berdampak panjang. Keamanan tidak pernah didefinisikan secara sistemik, tetapi langsung dilekatkan pada Polri,” tegas Fajri.
Fajri juga mengkritik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang dinilainya memperluas fungsi kepolisian melampaui mandat konstitusi.
“Undang-undang ini tidak mengatur sistem keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi justru mendefinisikan fungsi Polri secara sangat luas. Fungsi, tugas, dan kewenangan bercampur, sehingga membuka ruang perluasan kewenangan tanpa batas yang jelas,” ujarnya.
Ia menyoroti ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU Polri yang memberi ruang bagi Polri untuk menjalankan tugas lain dan kewenangan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
“Dalam konsep pemolisian demokratis, pasal-pasal seperti ini seharusnya tidak ada. Kewenangan institusi keamanan harus limitatif, jelas, dan tidak multitafsir,” kata Fajri.
Menurut Fajri, konsep pemolisian demokratis sejatinya sudah sejalan dengan konstitusi dan risalah pembentukannya. Konsep ini menekankan pergeseran dari orientasi kontrol menuju orientasi pelayanan, penghormatan HAM, pembatasan penggunaan kekuatan, serta akuntabilitas dan pengawasan.
“Institusi kepolisian dalam negara demokratis harus tunduk pada prinsip pembatasan kewenangan, penghormatan HAM, akuntabilitas, dan pengawasan eksternal yang kuat,” ujarnya.
Berdasarkan kajian PSHK, Fajri menyebut terdapat tiga agenda utama reformasi kelembagaan Polri. Pertama, pembatasan kewenangan dalam fungsi penyelidikan, penyidikan, serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, pembatasan lingkup tugas pelayanan publik. Ketiga, penguatan pengawasan eksternal.
“Tanpa pengawasan eksternal yang efektif, prinsip HAM dan demokrasi dalam kebijakan keamanan akan sulit ditegakkan. Selama ini pengawasan internal tidak cukup untuk mengoreksi praktik kewenangan kepolisian,” pungkasnya.
Terpopuler
1
PBNU Kelompok Sultan Targetkan Percepatan Muktamar dan Gelar Harlah 1 Abad NU
2
Penembakan Massal Terjadi di Australia, Seorang Muslim Berhasil Lucuti Pelaku Bersenjata
3
Majelis Tahkim Khusus, Solusi Memecahkan Sengketa untuk Persoalan di PBNU
4
Kronologi Persoalan di PBNU (7): Kelompok Sultan dan Kramat Saling Klaim Keabsahan
5
Gus Yahya Berangkatkan Tim NU Peduli ke Sumatra untuk Bantu Warga Terdampak Bencana
6
Prabowo soal Status Bencana Nasional untuk Aceh-Sumatra: Situasi Terkendali, Saya Monitor Terus
Terkini
Lihat Semua