Nasional

Reformasi Polri Tak Akan Bergerak Selama Masih Berpola Militer

NU Online  ·  Rabu, 29 Oktober 2025 | 11:00 WIB

Reformasi Polri Tak Akan Bergerak Selama Masih Berpola Militer

Polisi mengamankan demonstrasi di Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online 

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menilai reformasi kepolisian Indonesia selama ini masih bersifat administratif dan belum menyentuh perubahan yang bersifat fundamental. Ia menyebut, sejak pemisahan Polri dari TNI pada 1999, belum ada reformasi sejati yang dilakukan terhadap institusi kepolisian.


“Pemisahan polisi dari TNI itu bukan reformasi Polri, melainkan bagian dari reformasi TNI,” kata Ray dalam sebuah diskusi yang digelar secara daring Selasa (28/10/2025).


Ray menyebutkan ketika pemisahan antara TNI dan Polri, polisi masih menerapkan pola militerisme dalam menangani berbagai permasalahan hingga saat ini.


“Setelah dipisahkan, polisi tidak melakukan pembaruan mendasar terhadap dirinya sendiri," ujarnya.


Menurut Ray, langkah reformasi yang diambil Polri sejauh ini hanya sebatas perubahan teknis dan aturan internal, bukan perombakan kelembagaan, budaya, dan struktur yang menjadi akar persoalan institusi tersebut.


Budaya militer masih mengakar

Ray menilai, kultur kepolisian di Indonesia masih kuat dipengaruhi oleh cara pandang militeristik. Hal ini terlihat dari sikap antikritik dan respons keras aparat terhadap demonstrasi serta ekspresi publik.


“Mereka belum sepenuhnya menjadi aparat sipil. Kalau berhadapan dengan TNI, mereka menyebut diri sipil. Tapi kalau berhadapan dengan masyarakat sipil, perilakunya seperti tentara main gebuk, main tangkap,” ujarnya.


Ia menilai Kultur militeristik itu membuat aparat kepolisian sulit menempatkan demokrasi sebagai nilai yang harus dijaga. “Bagi mereka, demokrasi dan kritik terhadap pemerintah dianggap ancaman, bukan bagian dari kehidupan negara yang sehat,” kata Ray.


Menurut catatan Ray, lebih dari 900 orang ditangkap oleh kepolisian selama aksi demonstrasi besar pada akhir Agustus lalu.


“Sementara kalau kita lihat kasus korupsi, setahun terakhir berapa yang ditangkap polisi? Sangat sedikit,” ucapnya.


Selain soal budaya, Ray juga menyoroti struktur kepolisian yang terlalu tersentralisasi di bawah komando Kapolri. Ia menilai, posisi Polri yang langsung bertanggung jawab kepada presiden justru membuat lembaga ini semakin sulit diawasi.


“Karena berada di bawah presiden, Polri memiliki rasa percaya diri yang tak terkendali. Lembaga seperti Kompolnas jadi sulit berfungsi optimal karena berada di posisi yang lemah secara struktur,” jelasnya.


Ray menilai, desain kelembagaan Polri perlu dipikirkan ulang agar lebih desentralistik. Kapolri, menurutnya, seharusnya berperan sebagai koordinator yang memfasilitasi kerja-kerja kepolisian daerah, bukan pengendali tunggal semua keputusan.


“Kalau semua keputusan terpusat di Jakarta, kepolisian daerah hanya jadi pelaksana perintah, bukan bagian dari sistem yang berpikir,” ujarnya.


Ray menegaskan bahwa reformasi sejati Polri harus menyentuh tiga dimensi utama, yakni institusional, struktural, dan kultural.


“Selama ini yang berubah hanya administratif soal jabatan, pangkat, atau aturan teknis. Padahal yang dibutuhkan adalah reformasi dalam cara berpikir, cara memimpin, dan cara berelasi dengan masyarakat,” tegasnya.


Ia juga mengusulkan agar kepolisian dievaluasi dari sisi kepangkatan dan ruang lingkup kerja. Menurutnya, penggunaan istilah militer seperti “jenderal” dalam kepolisian perlu dikaji ulang karena memperkuat jiwa komando dan bukan semangat pelayanan publik.


“Kalau namanya saja jenderal, ya jiwanya pasti ingin tempur. Itu menandakan mentalitas yang belum berubah,” kata Ray.


Ray menilai, beban kerja kepolisian saat ini terlalu luas dari urusan rumah tangga warga hingga persoalan politik nasional sehingga membuat Polri tidak efisien.


“Sekarang polisi ngurus dari orang cerai sampai pemilu. Itu tidak realistis. Dengan jumlah personel yang terbatas, kasus menumpuk dan tidak tertangani,” ujarnya.


Menurutnya, perlu ada pembagian fungsi yang lebih jelas antara kepolisian dan kejaksaan. “Penyelidikan bisa tetap di polisi, tapi penyidikan sebaiknya di bawah kejaksaan agar lebih efektif dan akuntabel,” sarannya.


Ray menegaskan, tanpa reformasi menyeluruh, kepolisian akan terus menjadi lembaga yang kuat secara politik namun lemah dalam pelayanan publik.


“Kalau kultur, struktur, dan institusi tidak disentuh, maka reformasi polisi hanya akan menjadi slogan. Kita butuh perubahan total, bukan setengah-setengah,” pungkasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang