Jakarta, NU Online
Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) baru saja merilis temuan mereka tentang pemetaan konten hoaks di media sosial di Indonesia. Secara keseluruhan, penelitian yang dilakukan selama Juli, Agustus dan September ini menghasilkan empat hal berikut:
Pertama, terdapat berbagai modus yang digunakan untuk membuat hoaks dan misleading Information yang bertujuan menyembunyikan kebenaran dan memicu kesalah pahaman. Di antara keduanya yang paling banyak adalah disinformasi yang mencapai 66.96 persen.
Disinformasi sendiri didefinisikan sebagai: penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain. Hal ini berbeda dengan Hoaks atau hoax (pemberitaan palsu), yang merupakan informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat-buat seolah-olah benar.
Kedua, konten baik yang bersifat hoaks (fakta palsu atau disinformasi) didominasi oleh konten politik dengan prosentase sebesar 58.70 persen. Ketiga sebagian besar hoaks tersusun dari gabungan narasi dan foto 50.43 persen. Keempat facebook menjadi media sosial yang sangat dominan dalam menyebarluaskan hoaks 47.83 persen, disusul Twitter 12.17 persen dan WA 11.74 persen.
Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho mengungkapkan, dalam catatan Mafindo, selama bulan September 2018, ada 86 topik hoaks, dimana 59 diantaranya adalah hoaks terkait politik. Dari 59 itu, ada 52 terkait Pilpres 2019.
Ia sendiri menyesalkan maraknya hoaks politik di media sosial, yang menyebabkan perhatian masyarakat yang seharusnya ditujukan kepada hal yang jauh lebih penting, seperti bersinergi untuk membantu masyarakat terdampak bencana di Palu dan Lombok, menjadi teralihkan. Buntutnya, masyarakat malah berdebat untuk topik remeh yang ternyata hanyalah hoaks.
“Hoaks politik ini sempat mengambil alih panggung opini publik, yang tentu menciderai perasaan masyarakat terdampak bencana. Karena ketika mereka seharusnya mendapatkan perhatian utama dari publik pasca bencana, tetapi justru masyarakat diajak bertengkar untuk isu yang tidak penting,” imbuh Septiaji.
Fakta inilah yang membuat Mafindo terus melakukan literasi agar masyarakat bisa meningkatkan kualitas pola pikir yang lebih kritis ketika menerima informasi, khususnya di media sosial dan grup percakapan seperti WA. Masyarakat juga jangan mudah menyebarkan informasi, kalau belum jelas kebenarannya.
Menurut Septiaji, masyarakat harus bisa berperan aktif membersihkan konten negatif di media sosial dengan bersama-sama melakukan siskamling digital, melaporkan jika ada konten bermasalah, baik ke platform (Facebook, Twitter, Instagram), ke Kementrian Kominfo melalui aduankonten.id, ke Bawaslu untuk konten terkait issue pemilu, dan Polri untuk konten pelanggaran hukum. Masyarakat juga wajib menggalakkan kegiatan bersama satu hari tanpa hoaks (hoax free day).
Selain kualitas literasi masyarakat, lanjutnya, upaya penting yang harus dilakukan adalah memperbanyak silaturahmi dan guyub antara masyarakat, terlebih antar tokoh masyarakat, agama, dan publik. Menurutnya, tatap muka bisa mencairkan kecurigaan, bertemu wajah bisa menghapus prasangka.
“Di era digital ini, jangan sampai kita mengenal masyarakat lain yang beragam hanya sepotong dari media sosial, tapi kita harus mengenal sepenuhnya dari pertemuan dan tatap muka,” ajak Septiaji.
Ia menegaskan, Mafindo tetap komitmen dalam empat hal. Pertama melakukan cek fakta untuk setiap isu yang berpotensi meresahkan masyarakat. Itu setiap hari dirilis di TurnBackHoax.ID, dan juga bersama dengan 22 media online yang berpengaruh di CekFakta.Com.
“Selain itu kami menggerakkan relawan di 18 kota untuk terjun langsung di masyarakat menyampaikan edukasi literasi, mengajak komponen masyarakat dari level keluarga, tentang pentingnya bermedsos yang sehat untuk menjaga kesatuan negeri. Kami juga mendorong upaya silaturahmi antar masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan sarasehan, kampanye publik, dan diskusi publik,” pungkas Septiaji.
Sementara itu, Deputi Pengembangan Pemuda Kemenpora Asrorun Niam Sholeh dalam diskusi Pemuda Mengkaji: Hoaks dan Masa Depan Pemuda di Media Center Kemenpora, Senin (8/10) sore mengatakan perunya langkah kongkrit dalam memerangi fenomena ini.
"Penyebaran hoaks di media siber sudah sedemikian mengkhawatirkan, terlebih saat masuk tahun politik. Harus ada langkah bersama untuk mencegahnya ", tegasnya.
Sebab jika dibiarkan, keberadaan konten hoaks dan disinformasi semacam ini dapat berujung pada konflik antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Oleh karenanya ia mengajak agar masyarakat khususnya pemuda untuk aktif memeranginya.
Caranya ada dua, kata Niam: "Produksi konten positif sebanyak mungkin agar konten negatif tidak mendapat ruang dan perlu ada keberanian untuk mengingatkan terhadap penyebar hoax agar mengoreksi dan tidak mengulangi", tambahnya.
Ketua Siber Kreasi Dedi Permadi juga menyinggung besarnya peran pemuda dalam memerang berita tak benar. Ia berharap pemuda menjadi lini depan di organisasinya masing-masing untuk turut menghambat info hoaks. “Minimal, tidak turut menyebarkan, apabila tidak bisa mencari bukti kebenaran dari informasi ini,"katanya.
Lebih-lebih di era millenial seperti saat ini yang masyarakatnya sangat bergantung kepada gadget dan banyak menghabiskan waktunya untuk berinteraksi di media sosial, harusnya bisa lebih bijak menyaring informasi.
Artis Olivia Zalianti secara khusus dalam berharap agara pemuda menekankan pentingnya langkah ‘cek dan ricek’ terhadap informasi yang didapatkan bisa dilakukan terlebih dulu. "Kembali ke diri kita masing-masing juga. Jangan mudah terprovokasi info, kalau ragu, jangan turut menyebarkannya karena khawatir itu adalah hoaks," katanya. (Ahmad Rozali)