Saat Restorative Justice dalam KUHAP Baru Bisa Berubah Jadi Tekanan untuk 'Damai'
NU Online · Selasa, 25 November 2025 | 17:00 WIB
Haekal Attar
Penulis
Jakarta, NU Online
Restorative Justice (RJ) sedianya bertujuan untuk memulihkan korban, dengan melibatkan pelaku agar bertanggung jawab atas akibat perbuatannya. Namun, Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Pembaruan KUHAP, Muhammad Isnur mengatakan bahwa setelah KUHAP baru disahkan, mekanisme RJ berpotensi berubah menjadi ruang gelap pemaksaan damai.
Ia menjelaskan bahwa RJ dalam KUHAP baru pasal 80 ayat 2 Bab IV memungkinkan tercapainya kesepakatan damai pada tahap penyelidikan. Padahal keberadaan tindak pidana saja belum dipastikan (Pasal 80 ayat 2).
"Situasi absurd ini membuka jalan pemerasan, paksaan, dan transaksi gelap yang menyasar warga sejak tahap paling awal proses hukum," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menurut keterangan yang diterima NU Online pada Selasa (25/11/2025).
Lebih jauh, Isnur mengatakan bahwa mekanisme RJ pada tahap penyelidikan tidak memiliki judicial scrutiny atau mekanisme pengawasan pengadilan.
Dalam penyidikan, katanya, menurut Pasal 83 dan 84 peran hakim sangat minim, karena hakim hanya berfungsi sebagai stempel formal dalam penghentian penyidikan, tanpa kewenangan untuk menilai substansi, menolak kesepakatan bermasalah, atau mendeteksi indikasi paksaan dan penyalahgunaan wewenang.
"Hal ini bukan mekanisme pengawasan melainkan legitimasi atas kesepakatan yang bisa dimanipulasi aparat," tegasnya.
Isnur juga menyoroti bahwa syarat penerapan RJ dalam Pasal 80 bersifat alternatif, bukan kumulatif, sehingga membuka celah bagi tindak pidana yang seharusnya tidak masuk kategori RJ.
"Artinya, kejahatan lingkungan oleh individu, kejahatan perbankan, judi online, dan berbagai tindak pidana lainnya berpotensi dinegosiasikan di belakang layar," jelasnya.
"Ketentuan yang serampangan seperti ini menciptakan ruang luas bagi kesewenang-wenangan aparat dan membuka pintu lebar untuk praktik korupsi berkedok penyelesaian damai," tambahnya.
Ia mengaku telah memperingatan serta memberi catatan kepada DPR dan pemerintah, tetapi terus abai dan tetap memaksakan kejendak untuk pemblerkauan KUHAP baru iut.
"Alih-alih melakukan reformasi hukum acara pidana, aturan ini justru membuka ruang kekacauan hukum yang lebih besar, menghadirkan penyalahgunaan kewenangan dan transaksi gelap yang merusak integritas proses peradilan," jelasnya.
Lebih jauh, Isnur mendesak Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera menggunakan kewenangan konstitusional dan menerbitkan Perppu guna menunda pemberlakuan KUHAP baru.
"Menerbitkan Perppu guna menunda pemberlakuan KUHAP baru serta membuka jalan bagi perombakan total substansi KUHAP Baru secara transparan dan partisipatif," katanya.
Isnur menambahkan bahwa pada momen kritis ini, keputusan Presiden akan menentukan apakah pembaruan hukum pidana berjalan ke arah yang benar atau justru menjadi sumber masalah baru yang menimbulkan kekacauan hukum dan berdampak bagi warga negara.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Kerusakan Alam dan Lalainya Pemangku Kebijakan
2
Khutbah Jumat: Mari Tumbuhkan Empati terhadap Korban Bencana
3
Pesantren Tebuireng Undang Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah PBNU untuk Bersilaturahmi
4
20 Lembaga dan Banom PBNU Nyatakan Sikap terkait Persoalan di PBNU
5
Gus Yahya Persilakan Tempuh Jalur Hukum terkait Dugaan TPPU
6
Khutbah Jumat: Mencegah Krisis Iklim dengan Langkah Sederhana
Terkini
Lihat Semua