Jakarta, NU Online
Ketua Komnas Haji dan Umroh Mustholih Siroj mengatakan bahwa praktik ibadah haji furoda sarat dengan risiko dan cukup rentan terhadap jamaah karena peraturan yang ada belum memadai untuk menjamin hak-hak jamaah. Mustholih meminta kemenag untuk membuat peraturan detail perihal haji furoda.
Hal ini disampaikannya menyusul legalisasi praktik haji furoda lewat Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UUPIHU) yang selama ini dianggap sebagai praktik perjalanan ibadah yang remang-remang.
Meski praktik haji furoda sudah dinyatakan legal, tetapi karena bukan berasal dari kuota resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, pada saat penyelenggaraan haji di tanah suci nanti jamaah haji furoda tidak bisa bergabung dengan rombongan misi haji Indonesia yang dipimpin amirul haj. Hal ini bisa dimaklumi karena secara prosedur, tahapan, layanan dan biaya sejak awal keduanya berbeda.
“Selain itu perlu diketahui, pemerintah juga tidak menjamin terpenuhinya hak-hak jamaah haji melalui visa mujamalah seperti pada jamaah haji khusus atau regular yang menggunakan visa dari jatah kuota resmi sehingga jamaah haji model ini sangat rentan. Di sisi lain setiap warga negara di mana pun berada berhak atas pelayanan negara, terlebih masalah haji sejatinya menyangkut pelayanan publik (public service),” kata Mustholih.
Ia menambahkan, praktik haji furoda awalnya tidak resmi. Berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2008 praktik haji furoda tidak diakui pemerintah karena di luar kuota resmi rombongan misi haji Indonesia. Sementara di sisi lain Arab Saudi sebagai negara tujuan menyediakan visa khusus yang disebut visa mujamalah.
“Karena itu praktik haji furoda pun sulit ditindak. Penyelenggarannya tidak mudah dimintai tanggung jawab bila ada penelantaran atau gagal berangkat,” kata Mustholih kepada NU Online di Jakarta, Rabu (10/4) siang.
UUPIHU yang beberapa waktu lalu disahkan dalam rapat paripurna DPR RI memberikan lampu hijau bagi calon jamaah haji di luar haji reguler dan haji khusus dengan syarat mendapatkan visa undangan dari pemerintah kerajaan Arab Saudi atau yang disebut visa mujamalah.
UUPIHU memungkinkan praktik haji furoda melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang berizin. PIHK nantinya akan melapor kepada Menteri Agama. Jika PIHK tak melapor, maka ancaman administrasi akan menanti, mulai dari sanksi ringan berupa teguran sampai pencabutan izin.
Menurut Mustholih, munculnya pelegalan pasal haji dengan visa mujamalah tampaknya memang bagian dari kompromi antara pemerintah, DPR dan PIHK karena melihat persoalan kuota haji yang tak kunjung bertambah. Sebab animo masyarakat menunaikan ibadah haji tidak pernah surut, bahkan terus membesar.
Harapan masyarakat untuk mendapat kuota resmi, kata Mustholih, harus berhadapan dengan kenyataan, yaitu mesti menunggu dengan daftar tunggu (waiting list) saat ini mencapai puluhan tahun. Sedangkan permintaan tambahan kuota sampai hari sulit dipenuhi oleh pihak Arab Saudi.
“Oleh sebab itu, agar di belakang hari tidak ada saling lempar tanggung jawab jika terjadi suatu masalah terhadap proses haji yang menggunakan visa mujamalah ini, maka Kementerian Agama harus membuat aturan yang sangat detail dan rinci untuk mengatur sejauh mana kriteria, syarat, prosedur, hak dan tanggung jawab PIHK maupun jamaah,” kata Mustholih. (Alhafiz K)