Nasional

Selain Childfree, Fenomena Waithood Populer di Dunia

Selasa, 7 September 2021 | 02:45 WIB

Selain Childfree, Fenomena Waithood Populer di Dunia

Fenomena waithood (menunda nikah) populer di dunia.

Jakarta, NU Online

Sebelum tren childfree gaung, fenomena waithood atau dalam Bahasa Indonesia berarti penantian, beberapa tahun belakangan populer di kalangan muda-mudi. Hingga kini, waithood masih populer di beberapa negara seperti Jepang dan Amerika Serikat, termasuk di Indonesia. 


Waithood pertama kali dicetuskan oleh Diane Singerman, profesor American University, Washington DC, dalam risetnya tentang generasi muda Timur Tengah. Dipublikasikan pada akhir 2007 dengan judul The Economic Imperatives of Marriage: Emerging Practices and Identities among Youth in the Middle East (Imperatif Ekonomi Pernikahan: Praktik dan Identitas yang Muncul di Kalangan Pemuda di Timur Tengah).


Ada beragam faktor yang melatarbelakangi penundaan menikah. Mulai dari alasan ingin melanjutkan pendidikan hingga fokus berkarir untuk membantu perekonomian keluarga. Bahkan beberapa riset menunjukkan, memasuki abad ke-21, tren Waithood semakin dianggap normal dan akan terus berlanjut hingga pada tahun 2050. 


Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’ (LBM-NU) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta H Anis Masduqi meninjau fenomena itu lewat kacamata fiqih. Dia mengatakan, baik waithood maupun childfree merupakan suatu sikap yang bertujuan untuk menunda, bisa jangka pendek atau panjang.


“Jadi, kedua hal itu sama-sama suatu bentuk yang satu penundaan, yang satu lagi pilihan untuk tidak memiliki keturunan. Dan itu bisa jadi hanya sementara, atau selamanya,” katanya saat menjadi narasumber pada Majelis Ahad Wage di kanal NAHNU TV, Ahad (5/9/2021).


Ia menyebutkan, keputusan serupa sebenarnya (juga) banyak dipilih oleh beberapa cendekiawan Islam. Seperti Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar az-Zamakhsyari, dan Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi, bahkan Ibnu Taimiyah. Alasan mendasarnya adalah karena keilmuan atau pendidikan.


“Bukan hanya menunda, tetapi mereka juga tidak menikah. Maka otomatis mereka tidak memiliki anak,” ujar alumnus Al Azhar Kairo itu.


Kendati demikian, pria yang biasa disapa Gus Anis itu menerangkan, latar belakang kasus dulu dan kini jelas jauh berbeda, yakni mengedepankan sikap individualis. Ketika menjadi gerakan, hal itu berpotensi besar meresahkan banyak kalangan.


“Ya, meresahkan ketika itu menjadi sebuah gerakan yang kemudian mengideologi,” terang dia.


Walhasil, ia menegaskan tren wacana-wacana seperti itu hendaknya tidak dilakukan. Sebab, tren childfree atau tidak ingin punya anak dalam Islam tidak sesuai dengan anjuran agama serta menyalahi makna filosofis dari pernikahan.


“Maka, satu-satunya cara bagi kita adalah mendakwahkan kembali agama itu lebih instensif dan kontekstual, sehingga mereka bisa memilih jalan hidup yang benar, hukum yang benar dari persfektif Islam,” tandasnya.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF