Jakarta, NU Online
Titik pijak seni rupa masih berkiblat ke Barat. Hanya sedikit perupa Indonesia yang berpijak pada keindonesiaan. Menurut pengamat seni rupa A. Anzieb, karena segala teorinya yang diajarkan di perguruan tinggi di Indonesia masih berkiblat ke Barat.
“Seni rupa Indonesia kan berkiblatnya ke Barat semua, termasuk silabus-silabus pendidikan dan perguruan tinggi kan kiblatnya ke Barat,” katanya ketika dihubungi NU Online melalui surat elektronik, Selasa (26/3) sore.
Dari abad 16, kata dia, Barat mulai merumuskan sejarah seni rupa dunia hingga abad 19. Singkatnya Barat membagi seni rupa dalam dua bagian: fine art atau sekarang hanya disebut ART (terdiri lukisan, patung, grafis dan arsitektur) dan seni terapan yaitu craft dan desain.
“Batik, ukiran, keramik, dan lain lain itu masuknya ke craft,” katanya.
Nah, rumusan konsep itu dipakai di indonesia, di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi hingga hari ini. Dalam fakultas seni rupa ada jurusan seni murni (art) yang berisi lukis, patung dan grafis. Lalu ada jurusan kriya atau craft dalam pengertian barat (ukir kayu, batik, keramik, logam dan lain lain) dan jurusan desain.
“Atau misalnya tentang kontemporer. Atau misalkan juga tentang warna, proses penciptaan dan lain lain. Semua berkiblat pada Barat,” lanjutnya.
Menurut Anzieb, hanya sebagian kecil perupa Indonesia yang berpijak pada keindonesiaan. Ia menyebut nama, di antaranya Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Hanafi, dan lain-lain. (Abdullah Alawi)