Nasional

Setahun Prabowo-Gibran: Supremasi Sipil Tergerus, Militerisasi Ruang Publik Meningkat

NU Online  ·  Senin, 27 Oktober 2025 | 18:00 WIB

Setahun Prabowo-Gibran: Supremasi Sipil Tergerus, Militerisasi Ruang Publik Meningkat

Sebuah momen ketika sejumlah tentara mengisi MPLS tahun ajaran 2025/2026 di SMK Diponegoro Banyuputih, Batang, Jawa Tengah. (Foto: dok. SMK Diponegoro)

Jakarta, NU Online

Memasuki setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sejak 20 Oktober 2024, gejala militerisasi di ruang-ruang sipil semakin terlihat.


Amnesty International Indonesia menilai, setahun terakhir menunjukkan erosi serius terhadap dua pilar hak asasi manusia yakni kebebasan sipil dan hak sosial-ekonomi warga.


“Alih-alih memperkuat supremasi sipil, pasca Revisi UU TNI, kebijakan pemerintah justru membuka jalan bagi dwifungsi militer dalam kemasan baru,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.


Peran militer meluas ke ranah sipil

Amnesty mencatat bahwa dalam setahun terakhir, jumlah jabatan untuk perwira aktif meningkat dari 10 menjadi 16 posisi. Tak hanya itu, pemerintah juga membentuk 100 Batalion Teritorial Pembangunan, 20 Brigade Infanteri Teritorial, hingga pelatihan transmigran sebagai Komponen Cadangan (Komcad) dan pembentukan kompi produksi.


Jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) pun meningkat signifikan dari 15 menjadi 21, dan diproyeksikan mencapai 37 Kodam pada 2029. Enam Kodam baru bahkan telah dibentuk tahun ini mulai dari Kodam XIX/Tuanku Tambusai di Riau hingga Kodam XXIV/Mandala Trikora di Merauke, Papua Selatan.


“Semua kebijakan itu menegaskan pola militerisasi pemerintahan yang mengaburkan area pertahanan dan nonpertahanan. Belajar dari pengalaman, implikasi negatif bagi HAM-nya cukup serius,” ujar Usman.


Ia juga menyoroti keterlibatan TNI yang kini meluas hingga bidang ekonomi dan sosial yaitu bertani, beternak, bahkan memproduksi obat dan multivitamin. Padahal, Indonesia tidak berada dalam kondisi darurat militer yang bisa membenarkan pelibatan aparat pertahanan dalam urusan sipil.


Kecenderungan ini juga tampak dalam proyek strategis nasional (PSN), terutama di sektor pangan dan energi. Penempatan purnawirawan militer di berbagai posisi strategis, termasuk di 15 pos kabinet dan lima dari sepuluh pimpinan Badan Gizi Nasional, memperlihatkan kecenderungan yang sama yaitu melemahnya batas sipil dan militer.


Di daerah, praktik seperti pengiriman siswa ke barak militer dan penerapan jam malam bagi anak sekolah memperlihatkan cara logika militer yang kian merasuk ke kehidupan warga sipil.


Selain itu, terdapat upaya menjadikan TNI sebagai penyidik tindak pidana umum sesuatu yang seharusnya menjadi kewenangan polisi dan jaksa. Indikasi ini tampak dalam draf Revisi KUHAP (Pasal 7 ayat 5 dan Pasal 20 ayat 2) serta RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (Pasal 56 ayat 1 huruf d).


“Menguatnya militerisasi atas ruang sipil ini mengikis profesionalisme militer, supremasi sipil, dan prinsip dasar HAM,” tegas Usman.


Ia menilai, berbagai kebijakan negara kini dibuat tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat. Kecenderungan resentralisasi kekuasaan dan lemahnya proses musyawarah di parlemen memperburuk situasi.


Akibatnya, terjadi erosi hak-hak sipil warga, mulai dari kebebasan berpendapat hingga hak masyarakat adat mempertahankan tanah ulayatnya.


Pendekatan represif, kemunduran demokrasi

Dalam menghadapi ketidakpuasan publik, negara kerap menggunakan pendekatan represif dan melabeli pengunjuk rasa secara negatif, sebagaimana dalam kasus demonstrasi bertema Indonesia Gelap dan aksi unjuk rasa akhir Agustus 2025 lalu.


Menurut Usman, akar dari kemunduran HAM ini terletak pada arah kebijakan pemerintah yang pro-elite, menonjolkan praktik otoriter, dan mempopulerkan program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Koperasi Desa Merah Putih tanpa perhitungan anggaran yang matang.


“Jika tren ini berlanjut, Indonesia berisiko terperosok dalam otoritarianisme baru yang menindas hak-hak warga,” ujar Usman.


Temuan lapangan memperlihatkan pemerintah tengah memperkuat struktur Komando Teritorial (Koter) warisan Orde Baru yang menjadi basis dwifungsi TNI.


Kemudian pada 2025, TNI akan membentuk 100 Batalion Teritorial Pembangunan di bawah Kodim dengan alasan mempercepat pembangunan di sektor pertanian, peternakan, dan kesehatan.


Kebijakan ini jelas bertentangan dengan amanat reformasi militer yang menuntut pembatasan peran TNI di ranah nonpertahanan.


Alih-alih melakukan restrukturisasi, pemerintah justru memperluas jaringan komando yang dapat digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan.


Kecenderungan sekuritisasi juga terlihat di Papua. Pemerintah menugaskan TNI dalam proyek food estate (lumbung pangan) di Merauke, disertai pembentukan lima batalyon infanteri penyangga daerah rawan.


Langkah ini dikhawatirkan memperburuk spiral kekerasan dan memperlemah upaya penyelesaian konflik secara damai.


Pengendalian langsung proyek oleh pejabat militer aktif di lapangan menegaskan orientasi keamanan di atas pendekatan kesejahteraan.


Pengiriman pasukan tambahan di luar mandat resmi memperlihatkan kuatnya logika militer dalam kebijakan pembangunan.


Kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI terus berulang. Dalam sembilan bulan terakhir, tercatat berbagai peristiwa mulai dari penembakan warga sipil di Aceh dan Lampung, pembunuhan jurnalis di Banjarbaru, hingga penculikan Kepala Cabang BRI di Jakarta.


Namun, seluruh kasus tersebut tetap ditangani melalui peradilan militer yang dilakukan secara tertutup bagi publik dan sering berujung pada vonis ringan.


Sistem ini menciptakan ruang impunitas, melemahkan rasa keadilan bagi korban sipil, dan memperkuat citra bahwa prajurit kebal hukum.


Ketiadaan revisi atas UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997 menjadi akar persoalan utama. Padahal, TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU TNI sudah mengamanatkan agar pelaku tindak pidana umum diadili di peradilan umum.


Legalisasi militerisme melalui produk hukum

Selain penguatan struktur lapangan, gejala militerisme juga dilegalkan lewat berbagai produk hukum baru. Revisi UU TNI (UU Nomor 3 Tahun 2025) disahkan dengan proses tertutup dan minim partisipasi publik.


Sementara Perpres Nomor 66 Tahun 2025 tentang pengamanan tugas jaksa memberikan dasar hukum bagi pelibatan TNI dalam fungsi penegakan hukum sebuah langkah yang dinilai bertentangan dengan semangat supremacy of law.


RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) turut memperluas kewenangan TNI sebagai penyidik tindak pidana siber, padahal konstitusi menegaskan tugas utama militer adalah menjaga kedaulatan, bukan penegakan hukum.


Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan kemunduran serius dalam agenda reformasi pertahanan dan keamanan nasional. Anggaran pertahanan stagnan, dokumen strategi tidak transparan, dan arah kebijakan publik tidak jelas.


Sementara itu, Kementerian Pertahanan lebih sibuk dengan aktivitas politik ketimbang memperkuat profesionalisme institusi.


Situasi ini membuat Indonesia menghadapi ancaman nyata yaitu pelanggaran HAM, pelemahan supremasi hukum, dan kembalinya pola pemerintahan otoriter dalam wajah baru.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang