Nasional

Solusi Dua Negara Harus Disertai Penghentian Kekerasan dan Perluasan Pemukiman di Palestina

NU Online  ·  Jumat, 10 Oktober 2025 | 11:00 WIB

Solusi Dua Negara Harus Disertai Penghentian Kekerasan dan Perluasan Pemukiman di Palestina

Peneliti Politik Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Irine Hiraswari Gayatri, saat menjadi narasumber di Menjadi Indonesia Episode 28 NU Online yang bertajuk "Apakah Two-State Solution Adil untuk Palestina" sebagaimana dikutip NU Online pada Jumat (10/10/2025). (Foto: tangkapan layar kanal Youtube NU Online)

Jakarta, NU Online

Pengakuan Indonesia terhadap Israel jika Palestina diakui merdeka yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto di UNGA dipandang terlalu tergesa-gesa. Pasalnya, penindasan masih berlanjut dan belum berakhir, tetapi hal tersebut sudah dinyatakan.


"Menurut saya kita terlalu tergesa-gesa memberikan leverage itu. Jadi apa gunanya kita mengkampanyekan Palestina merdeka tapi kita terlalu cepat mendukung posisi untuk welcome Israel," ujar Peneliti Politik Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Irine Hiraswari Gayatri, saat menjadi narasumber di Menjadi Indonesia Episode 28 NU Online yang bertajuk "Apakah Two-State Solution Adil untuk Palestina" sebagaimana dikutip NU Online pada Jumat (10/10/2025).


Irine mengatakan bahwa sejak dulu Indonesia memang aktif mendukung negara untuk merdeka sesuai Undang-Undang 1945 alinea ke-4. Menurutnya, hal tersebut memang baik secara karakter bangsa, tetapi secara praktik butuh dianalisis kembali.


"Kalau kita dulu ada Bung Hatta bilang mendayung di antara dua karang, tapi sekarang kayaknya karangnya itu banyak banget," ungkapnya.


Perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Uppsala Swedia tersebut memaparkan apa yang ia sebut karang. Ia menyebut Indonesia yang harus tergabung dalam Global Engagement, tetapi juga ingin konsisten dalam menjaga koherensi etika kebijakan luar negeri yang berguna saat menuntut penghormatan hukum internasional.


"Maksud kita, kalau kita mendukung Palestina merdeka ya jangan berusaha jangan terlalu bebas mengatakan bahwa saat kita akui Palestina nanti kita akui Israel," tuturnya.


Selanjutnya, Irine membandingkan pernyataan Indonesia dengan negara-negara lain yang pada level pertama menyampaikan bahwa ada gambaran kemanusiaan sebelum terburu-buru menyerukan Palestina Merdeka.


"Bukan berarti kemudian misalnya kalau Israel merdeka gitu kita tidak ada problem, kita tetap akan ada problem," ungkap Irine.


Sosok lulusan Monash University Australia tersebut juga mengatakan bahwa dari sisi hukum dan akuntabilitas Internasional, apa yang diproyeksikan Indonesia akan selalu setengah-setengah. Menurutnya, hal tersebut sebab Indonesia memiliki pengalaman buruk, yaitu pernah ditolak di Amerika.


"Misalnya, sejak 26 Januari 2024 Mahkamah Internasional atau ICG sudah mengindikasikan profesional measures dalam perkara South Afrika versus Israel. Itu menurut saya itu sangat radikal tapi Indonesia tidak bisa," ujarnya.


Irine mengatakan bahwa pada aspek politik regional dan global. Ada kecenderungan lonjakan pengakuan negara-negara barat terhadap Palestina merdeka. Sementara di forum PBB, pemerintah Israel menolak Palestina merdeka bahkan sejumlah pemimpin koalisi juga menonjolkan arus perluasan pemukiman dan langkah de facto aneksasi di Tepi Barat. Hal tersebut, kata Irine, menjadikan dukungan Two State Solution Indonesia tampak problematik.


"Jadi, kalau dorongan negara barat ini memang mendorong Palestina merdeka, Indonesia masuk dengan two state solution support kan jadi agak problematik juga walaupun dalam dokumen-dokumen kita ada beberapa konsistensi untuk menyerukan two state solution," jelasnya.


Hingga saat ini, kata Irine, jumlah pengakuan global mencapai lebih dari 150 negara kecuali Amerika dan beberapa aliansinya yang memveto. 


"Saya kan bukan mewakili entitas negara. Jadi saya harus menyampaikan kritik terhadap kecepatan two state solution. Sementara sudah ada hitungan misalnya argumen normatif legal paling diterima memang karena dia mengikuti yang 1967 itu," ujarnya.


Kata Irine, isu Jerusalem dengan pengungsi pemukiman memang setara dengan rujukan PBB, yakni pengakuan kenegaraan serta kasus jaminan keamanan dua pihak. Namun menurutnya, hal tersebut akan rancu jika isu genosida tidak dipersoalkan. 


Irine kemudian menyoroti kelayakan di lapangan yang memang memburuk, yakni adanya ekspansi permukiman yang memfragmentasi wilayah lebih barat dan belum ditemukan solusinya. Secara prinsip, orang mengasumsikan opsi dua negara itu paling ideal. Namun, ia melihat perlu ada penghentian ekspansi pemukiman dan penghentian kekerasan.


Bagi Irine, solusi dua negara justru akan membuka risiko adanya janji kosong dan tidak mengubah kebijakan.


"Jadi, saat pimpinan Israel menolak dua negara, syarat pengakuan kita bila mereka mengakui Palestina memang ada risiko menjadi janji kosong, tidak menciptakan insentif perubahan kebijakan," tutupnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang