Dalam sebuah masyarakat selalu terdapat indikasi adanya pelabelan sifat (stereotyping) yang diletakan kepada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun budaya. Tentu hal inilah yang turut mempengaruhi pembentukan representasi terhadap perempuan dan laki-laki. Melalui stereotip, masyarakat mendistribusikan tugas laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Stereotip mulai dari yang terkecil yaitu keluarga, nilai dalam ajaran agama, dan pada masa kini stereotip terus terpelihara dan meluaskan pengaruhnya melalui media dan propaganda.
Lewat stereotip inilah yang pada umumnya mengakibatkan bias gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Stereotip yang mengakibatkan bias gender sebenarnya bisa diubah dan diperbaiki dengan adanya pendidikan gender yang baik di kalangan masyarakat.
Tentu pengubahan stereotip yang dulunya bernada pejoratif kepada suatu stereotif yang bernada membangun akan bisa menghilangkan bias gender antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Iwantoro pada tahun 2018 di Desa Kalipang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dengan judul Pendidikan Anak Dalam Perspektif Gender: Studi Kasus Pendidikan Anak di Desa Kalipang Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan, ditemukan bahwa ternyata masih banyak stereotip pejoratif masyarakat kita terhadap pendidikan anak perempuan.
Iwantoro dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa di Desa Kalipang, masih berkembang stereotip yang mengakar kuat bahwa anak perempuan adalah anak yang lemah sehingga tidak sesuai jika harus bekerja di luar rumah.
Iwantoro juga menyatakan bahwa di Desa Kalipang mayoritas anak perempuan memang beraktivitas di sekitar rumah, seperti membantu orang tua di kebun atau sawah, mencari makanan ternak, dan sejenisnya. Aktivitas seperti itu sudah menjadi pemandangan yang biasa, kalaupun ada yang bekerja di luar biasanya menjadi karyawan perusahaan yang ada di sekitar desa. Stereotip seperti ini tentu hanya menyebabkan perempuan tertinggal dengan laki-laki dalam segala hal termasuk dalam memperoleh kesempatan pendidikan.
Stereotip lain yang mengakar kuat di Desa Kalipang bahwa jangkauan perempuan terbatas pada 'sumur, dapur, dan kasur'. Tentu tanpa disadari hal menjadi faktor yang menyebabkan anak perempuan mengalami kecenderungan diskriminasi dalam pendidikan.
Selain itu, pada penelitian yang didukung oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI, juga disampaikan bahwa aktivitas perempuan yang terbatas pada sumur, dapur, dan sumur tersebut membuat orang tua berpikir dua kali untuk memberikan investasi pendidikan yang lebih tinggi untuk anak perempuannya. Pondok pesantren biasanya menjadi pilihan orang tua untuk pendidikan anaknya, sambil menunggu 'jodoh' anak tersebut.
Di masyarakat juga berkembang pantang menolak lamaran laki-laki untuk anak perempuannya, meskipun anak masih dalam proses sekolah. Orang tua lebih menikahkan anak perempuannya daripada menunggu si anak menyelesaikan sekolahnya sampai tuntas.
Walhasil dengan masih adanya stereotip pejoratif masyarakat terhadap pendidikan anak perempuan. Tentu menjadikan PR dan tugas berat bagi pendidikan di Indonesia untuk mengubah stereotip tersebut menjadi stereotip yang bernada membangun. Yaitu, sebuah stereotip yang tidak menyebabkan diskriminasi dan bias gender antara laki-laki dan perempuan.
Penulis: Ahmad Khalwani
Editor: Kendi Setiawan