Nasional

Tekanan dari Masyarakat Sipil Jadi Faktor Penting Keberhasilan Reformasi Kepolisian

NU Online  ·  Selasa, 7 Oktober 2025 | 21:00 WIB

Tekanan dari Masyarakat Sipil Jadi Faktor Penting Keberhasilan Reformasi Kepolisian

Anggota Kompolnas Gufron Mabruri dalam Diskusi Publik AJI Indonesia bertajuk Catatan Kelam Perilaku Polisi, Menagih Reformasi Polri, Senin (7/10/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube AJI Indonesia)

Jakarta, NU Online

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Gufron Mabruri menilai bahwa agenda reformasi kepolisian tidak akan pernah berjalan efektif jika hanya mengandalkan kemauan dari internal institusi Polri.


Menurutnya, dorongan dan tekanan dari masyarakat sipil justru menjadi faktor penting keberhasilan yang menentukan arah reformasi kepolisian ke depan.


“Upaya untuk terus mendorong perbaikan reformasi kepolisian, terutama dari eksternal, menjadi faktor yang sangat penting. Kita nggak bisa sekadar nunggu kehendak internal. Dorongan dan tekanan dari luar itu proses politik yang penting untuk memastikan agenda reformasi ini jalan,” ujar Gufron dalam Diskusi Publik AJI Indonesia bertajuk Catatan Kelam Perilaku Polisi: Menagih Reformasi Polri, Senin (7/10/2025).


Gufron mengungkapkan, dalam tiga tahun terakhir, Kompolnas menerima lebih dari 2.000 laporan masyarakat setiap tahun. Dari total pengaduan yang masuk, sebagian besar menyangkut pelayanan pengaduan yang buruk, penanganan perkara yang lamban, dan ketidakpuasan pelapor terhadap tindak lanjut polisi.


“Dari tahun 2022 sampai 2024, jumlah pengaduan yang masuk ke Kompolnas selalu di atas dua ribu. Bahkan banyak laporan yang berulang karena pelapor merasa tidak puas dengan jawaban polisi,” ujarnya.


Ia menjelaskan, pengaduan masyarakat menjadi indikator penting untuk menilai sejauh mana pengawasan eksternal seperti Kompolnas efektif dalam menindaklanjuti laporan publik. Dari data Kompolnas, fungsi reserse tercatat sebagai satuan kerja paling banyak diadukan, disusul oleh bagian profesi dan pengamanan (Propam).


“Setiap tahun polanya nggak berubah. Lebih dari 90 persen aduan menyangkut fungsi penegakan hukum di reserse. Sementara jenis pelanggaran yang paling banyak dilaporkan adalah pelayanan yang buruk,” jelasnya.


Tiga Polda dengan jumlah aduan tertinggi adalah Polda Metro Jaya, Sumatra Utara, dan Jawa Timur. Pola itu menunjukkan bahwa persoalan kepolisian tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia dan bersifat sistemik, bukan insidental.


Tiga pola masalah utama Polri

Berdasarkan data Kompolnas, Gufron menyebut ada tiga pola masalah utama yang berulang setiap tahun. 


Pertama, pelayanan pengaduan yang tidak optimal. Banyak laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti, ditolak dengan alasan “kurang bukti” atau ditangani dengan lamban.


Kedua, penyalahgunaan kewenangan.
Kasus-kasus seperti pungutan liar, korupsi kecil, hingga tindakan aparat di luar kewenangan masih sering muncul.


Ketiga, penggunaan kekuatan berlebihan.
Terutama dalam penanganan unjuk rasa dan operasi lapangan, penggunaan kekuatan yang tidak proporsional masih kerap terjadi.


“Kasus-kasus kekerasan dalam pengamanan demonstrasi, atau penembakan sesama polisi di Semarang, itu contoh bagaimana penggunaan kekuatan masih menjadi persoalan sampai hari ini,” tegas Gufron.


Pengawasan lemah

Gufron menilai lemahnya pengawasan menjadi akar dari berulangnya pelanggaran di tubuh kepolisian. Menurutnya, pengawasan internal dan eksternal masih berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi yang efektif.


“Internal jalan sendiri, eksternal jalan sendiri. Padahal keduanya harus saling menguatkan. Pengawasan yang kuat harus dibangun sebagai sistem, bukan sekadar pelatihan atau kursus etika,” katanya.


Ia juga menyoroti perlunya memperkuat kapasitas Kompolnas sebagai lembaga pengawas eksternal agar lebih mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Usulan seperti pembentukan Sobat Kompolnas di daerah dinilai bisa menjadi langkah konkret untuk memperluas partisipasi publik.


Gufron menegaskan bahwa reformasi kepolisian tidak bisa dipisahkan dari konteks politik dan hukum nasional. Ia mengingatkan, sejak Polri berdiri sebagai lembaga sipil pasca Reformasi 1998, banyak agenda perubahan yang belum selesai.


“Kalau mau melihat Polri ke depan semakin profesional dan humanis, kita juga harus mendorong reformasi di sektor lain: hukum, pertahanan, dan politik. Karena kepolisian adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar,” ujarnya.


Menurut Gufron, reformasi Polri harus dibaca dalam tiga dimensi besar. Pertama, instrumental yaitu aturan dan norma hukum yang sudah tidak relevan dengan kondisi hari ini. Kedua, struktural yakni mekanisme pengawasan dan tata kelola institusi. Ketiga, kultural yaitu perilaku, nilai, dan etika aparat di lapangan.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang