Yogyakarta, NU Online
Per Juli 2021, Kementerian Sosial RI menyatakan 11.000 anak kehilangan orang tua akibat pandemi. Perihal itu, Psikolog Anak dan Keluarga, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid mengungkapkan kehilangan orang tua di masa pandemi merupakan stressor atau situasi eksternal yang secara potensial mengancam dan bahaya terbesar bagi anak.
“Dalam konteks pandemi, kehilangan orang tua lebih berat karena tanpa persiapan dan prosesnya sangat pendek apalagi anak-anak belum mandiri,” kata Alissa dalam diskusi bertajuk Ketika Pandemi Meningkatkan Jumlah Yatim Piatu yang digelar Komunitas Sonjo Jogja, Ahad (22/8).
Akibatnya, lanjut dia, anak-anak tersebut akan kehilangan keberlangsungan hidup di masa depan. “Mereka (anak-anak) tidak punya bayangan apa yang akan terjadi di masa depan, karena masih belum dewasa,” ungkap Sekretaris Lembaga Kesehatan Keluarga (LKK) PBNU itu.
Selain itu, ia menilai anak-anak korban Covid-19 akan menderita beban berlipat ganda karena kehilangan sistem pendukung utamanya. Ia menceritakan pengalaman Gusdurian Peduli ketika mengantarkan santunan menemukan realita anak yatim piatu akibat pandemi diasuh keluarga besar namun demikian sistem penopang kehidupan utama mereka, menurut dia, tetap hilang.
“Jadi, tidak semua keluarga besar bisa menjalankan peran atau fungsi pengasuhan secara utuh, ini yang dihadapi anak-anak yatim piatu akibat Covid-19,” imbuh Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian.
Tiga tahapan pendampingan anak-anak korban Covid-19.
Oleh karena itu, menurut Alissa, yang dibutuhkan anak-anak korban Covid-19 saat ini, pertama, pendampingan awal untuk proses grieving (tahapan saat seseorang berduka) seperti; denial shock, marah, frustasi yang terpendam, depresi, penerimaan, dan adaptasi.
Hal ini menurutnya penting untuk dilakukan dan tidak bisa didampingi oleh orang awam seperti keluarga karena tidak punya kelengkapan sebagai psikolog.
Kedua, pendampingan psikososial jangka panjang. Dikatakan Alissa hal itu penting karena terkait dengan adaptasi si anak. Ketiga, sistem pendukung dan perlindungan sosial jangka panjang untuk keberlangsungan hidup agar anak-anak terjamin kesejahteraannya.
“Hal itu tidak hanya diketahui kepada orang yang dewasa saja tapi perlu disampaikan kepada anak-anak agar mereka punya informasi yang cukup untuk diserap,” Alissa menyarankan.
Ia menambahkan bahwa proses dan kebutuhan setiap balita, anak SD, dan remaja berbeda. Misalnya balita, ketika mendengar orang tuanya meninggal hanya akan menangis setelah itu kembali seperti biasa.
Sedangkan anak-anak SD, kata dia, punya kesulitan untuk mengungkapkan segalanya lebih baik. Karenanya, butuh untuk dibantu agar bisa mengekspresikan kedukaan dan kebingungan mereka dengan cara yang lebih non-direktif atau cara pendekatan terhadap permasalahan yang sifatnya tidak langsung.
Sementara anak-anak remaja menurutnya menghadapi dua tantangan. Pertama, kehidupan remaja secara natural sudah menyulitkan mereka sendiri. Kedua, sadar tanggung jawab.
“Mereka sudah sadar keberlangsungan hidup yang jungkir balik sehingga bebannya menjadi berlibat ganda,” paparnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Syamsul Arifin