Dalam naskah akademik berjudul Penegerian Raudlatul Athfal (RA) yang diterbitkan Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI disebutkan bahwa Raudhatul Athfal (RA) adalah satuan Pendidikan Anak Usia Dini yang berada di jalur formal sederajat dengan Taman Kanak-kanak.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan pada jalur formal, RA dituntut memenuhi standar pendidikan, di mana tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menghendaki peningkatan mutu pendidikan dilaksanakan secara terencana dan berkala. Peningkatan mutu pendidikan tersebut, didasarkan atas standar nasional Pendidikan yang dipergunakan sebagai acuan dalam pengembangan kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan.
Untuk menjawab amanah dalam UU No 20 tahun 2003 di atas, urgensi penegerian lembaga pendidikan RA merupakan salah satu kunci dalam upaya pemerataan kualitas dan mutu pendidikan, khususnya pada pendidikan prasekolah. Hal itu dikarenakan akses pendidikan yang bermutu merupakan hak fundamental setiap warga negara yang tidak dibatasi oleh status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Upaya ini sejalan dengan komitmen global melalui UNESCO dalam upaya peningkatan pemerataan akses pendidikan yang bermutu melalui program 'Pendidikan untuk Semua' (Education for All).
Penguatan status lembaga RA menjadi negeri dalam rangka menjembatani kebutuhan akan role model pendidikan prasekolah jenjang RA bagi RA lainnya. Selain itu, dengan adanya RA berstatus negeri, akan memudahkan dalam penataan manajemen tenaga pendidikan, khususnya guru-guru RA yang berstatus PNS dapat mengajar ditempat yang sesuai dengan satuan administrasi pangkalan (satminkal).
Penegerian lembaga pendidikan RA merupakan kebutuhan mendesak untuk menjawab upaya peningkatan mutu pendidikan prasekolah melalui peran serta pemerintah yang salah satu dimensi untuk menaikan mutunya dengan alih status dari swasta menjadi negeri dengan tetap mengacu pada revisi Permenag No 14 tahun 2014.
Laporan akademik tersebut juga menyebutkan peluang penegerian RA memunculkan beberapa implikasi. Di antaranya, terbukanya hubungan pembinaan antarsatuan pendidikan RA karena tersedianya RA model di wilayah kabupaten/kota. Kemudian, mMelahirkan pengembangan sumber daya dan sarana prasarana serta inovasi dalam strategi pengelolaan pembelajaran pada satuan pendidikan RA; meningkatkan kepercayaan diri pada anak, pendidik dan lembaga satuan pendidikan RA dalam merajut prestasi.
Selain itu, fokusnya pendidik RA yang menjadi ASN dalam satminkal yang sesuai dengan status kepegawaiannya; dan mengubah paradigma berpikir masyarakat tentang pembelajaran anak usia dini (AUD) yang selama ini hanya memfokuskan pada kemampuan calistung anak (kognitif), padahal terdapat enam aspek perkembangan yang harus dikembangkan pada pendidikan AUD secara seimbang.
Berdasarkan kajian Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta ada beberapa RA yang ada di bawah binaan Kementerian Agama yaitu RA Dharma Wanita ataupun RA Perwanida yang siap untuk dinegerikan. Menurut hasil penelitian Balai Litbang Agama Jakarta tahun 2018 keberadaan kedua RA tersebut berada di bawah Binaan Kementerian Agama merupakan beberapa RA Unggulan yang sudah bagus dalam aspek manajemen dan pengelolaannya, bahkan mayoritas sudah sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Secara tidak langsung representatif untuk dinegerikan.
Meski terdapat beberapa RA yang telah layak tetapi tidak setuju untuk dinegerikan, sebenarnya bisa dihadapi, dan jika ada RA yang belum siap untuk dinegerikan maka dapat dimulai dengan menginventarisir kebutuhan sesuai standar PAUD (akreditasi).
Penelitian juga mengungkapkan RA yang siap dinegerikan secara administratif pada 10 provinsi di wilayah kerja Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta, yaitu Perwanida Cilandak Jakarta Selatan; RA Keluarga Sakinah Tanjabtim dan RA Dharma Wanita Kota Jambi di Jambi; RA Dharma Wanita Kab Deli Serdang dan RA Bunayya IV Kota Medan di Sumatera Utara; RA Dharma Wanita Ar-Rahmah Kota Bukittinggi dan RA Dharma Wanita Ikhas Kota Padang di Sumatera Barat.
Berikutnya, RA Tunas Harapan Lampung Utara di Lampung; RA Perwanida 2 Kota Palembang di Sumatera Selatan; RA Al-Wardah Kabupaten Pandeglang di Baten; RA Perwanida Al-Hidayah Kabupaten Rokan Hulu, RA Azkiya Kab Kuantan Singingi, RA Al-Kautsar Kabupaten Siak di Provinsi Riau.
Sementara di Aceh ada RA Perwanida Kota Banda Aceh dan RA Miftakhul Jannah Pidie Jaya. Di Jawa Barat, RA Uswatun Khasanah Subang dan RA Fitriyah Kabupaten Majalengka.
Namun demikian, terdapat beberapa poin yang merupakan tantangan penegerian yang masih menjadi kendala oleh RA di bawah Kementerian Agama. Seperti banyaknya bermunculan RA-RA baru, tetapi tidak diimbangi dengan adanya RA Model yang bisa dijadikan rujukan bagi RA-RA yang ada di sekitarnya; luas tanah mayoritas RA tidak mencapai 1000 meter, jikapun ada maka bisa dihitung dengan jari.
Kemudian, beberapa RA seperti di Medan, Riau, dan Jawa Barat ada yang memiliki tanah lebih tetapi status tanahnya merupakan wakaf. Khusus untuk Jakarta dan kota-kota besar lainnya, keberadaan tanah 1000 meter merupakan lahan yang mahal untuk dimiliki oleh RA, sehingga opsi penegerian berdasakan status tanah diharapkan upaya penegerian RA dapat mengurangi standarnya menjadi minimal 600-800 meter saja. Selain itu, adanya status tanah juga merupakan tantangan tersendiri.
Di samping itu, kebutuhan akan tenaga psikolog dan dokter anak masih menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara RA. Hal ini dikarenakan banyak lembaga RA banyak yang belum memahami urgensi psikologi dan kesehatan bagi pekembangan anak. Sementara keberadaan guru RA berstatus negeri tetapi lembaga tempat mengabdi masih berstatus swasta, hal ini menyulitkan dalam satuan administrasi pangkalnya (satminkal); dan keikhlasan lembaga RA untuk menyerahkan seluruh asetnya ke negara tanpa syarat apa pun.
Editor: Kendi Setiawan